Articles by "West Papua"
Showing posts with label West Papua. Show all posts
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom menyebut 17 kali kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Papua, namun tak pernah sama sekali bertemu dengan Majelis Rakyat Papua (MRP). Jokowi hanya bertemu dengan kelompok-kelompok yang tidak berseberangan dengan pemerintah pusat, sehingga kunjungan itu tidak menyelesaikan konflik kekerasan di Papua.

Setidaknya 17 kali Presiden ke Papua, namun pertemuannya hanyalah dengan pihak-pihak dalam tanda petik Pro Jakarta dan tidak pernah berdialog dengan pihak-pihak di luar itu, bahkan dengan MRP pun tidak pernah," kata Gomar dalam diskusi publik daring yang digelar Amnesty Internasional Indonesia, Jumat (3/5/2024).

Pemerintah kini justru dianggap memperluas pendekatan militer dengan mengubah nomenklatur istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dia khawatir, pendekatan militer ini akan mengabaikan aspek hukum yang seharusnya dikedepankan dalam peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi. "Saya melihat nomenklatur OPM akan ada pendekatan keamanan pada setiap persoalan di Papua, dan itu kekhawatiran terutama akan mengabaikan pendekatan hukum yang musti dilakukkan kepolisian, kekhawatiran paling dalam," tandasnya. Baca juga: TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri Selain itu, pendekatan militer tidak sesuai dengan janji-janji pemerintah pusat baik saat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ataupun dipimpin Presiden Joko Widodo.

Gomar mengatakan, SBY berkali-kali mengatakan akan menyelesaikan masalah di Papua menggunakan pendekatan dengan hati. Ucapan ini berkali-kali dikatakan SBY. Termasuk dalam hasil pertemuan para pimpinan gereja di Papua pada 2011 silam. Dalam pertemuannya di Cikeas, SBY menyebut masalah bisa selesai dengan cara win-win solution. "Dari SBY sendiri yang mengatakan saat itu "kita hanya bisa menyelesaikan masalah Papua dengan win-win solution, istilah itu dia pakai," Jakarta punya keinginan kesatuan NKRI untuk Papua, teman-teman i Papua ingin merdeka, tapi saya yakin ada win-win solution kata beliau," ucap Gomar.

Sayangnya percakapan ini tidak berlanjut," sambung Gomar. Baca juga: TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya Hal senada juga dikatakan Presiden Joko Widodo. Presiden aktif Republik Indonesia ini mengatakan masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan kultural. "Pak Joko Widodo selalu mengatakan pendekatan kultural. Pendekatan kultural lah yang bisa selesaikan masalah Papua, kata beliau," tutur Gomar. Pada 2014, setelah terpilih, Jokowi mengunjungi Papua dan melakukan pertemuan dengan beragam tokoh Papua. Saat itu Gomar ikut dan meminta agar Jokowi tidak memulai pendekatan masalah Papua dari nol, tetapi bisa mengikuti road map yang telah disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang menjadi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). "Sayangnya kemudian sepemahaman saya, Pak Jokowi lebih memusat pada pembangunan infrastruktur. Jelas ini sesuatu yang positif kalau dilihat sepintas, tetapi juga tidak bisa menyelesaikan masalah kalau di sisi itu, apalagi kalau

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/05/03/13153081/ketum-pgi-17-kali-jokowi-ke-papua-tapi-hanya-bertemu-pihak-pro-jakarta.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
17 Agustus 1945 dan Perjanjian New York!

Tidak ada entitas bangsa dan wilayah teritorial yang diproklamirkan Soekarno pada 17 Agustus 1945. Soekarno tidak pernah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada bukti orang Papua terlibat dalam proklamasi ini. Secara de facto dan de jure tidak pernah diakui oleh satu negara lain saat itu. Pengakuan teritori Sabang sampai Amboina oleh Belanda baru terjadi tahun 1949 di bawah UU Republik Indonesia Serikat.
Sampai pada tahun 1960, West Papua adalah jajahan Belanda, diklasifikasikan oleh hukum internasional dan terdaftar sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri di PBB. Bukan bagian resmi dari Indonesia sebagaimana klaim Indonesia bahwa West Papua sudah menentukan nasib melalui proklamasi 17 Agustus 1945. Maka, atas resolusi 1514 (XI) PBB tentang kemerdekaan bagi wilayah-wilayah jajahan, maka Belanda selaku pemegang administrasi mempersiapkan kemerdekaan West Papua sebagaimana manifesto politik West Papua 1 Desember 1961.
Indonesia halangi proses dekolonisasi West Papua, atau hak hukum rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai semangat deklarasi PBB dilanggar dengan mengokupasi teritori West Papua. Presiden Soekarno melancarkan ekspansi politiknya di West Papua dengan kekuatan militer membuat West Papua menjadi sengketa internasional. Konspirasi ekonomi politik AS, Belanda dan Indonesia melahirkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Perjanjian New York, sekalipun tidak melibatkan rakyat West Papua dan merupakan rekayasa AS, Belanda dan Indonesia, tetapi perjanjian itu menjadi landasan hukum internasional bahwa Indonesia, Belanda dan PBB mengakui kembali West Papua sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri yang memiliki hak hukum substantif untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka sesuai perjanjian itu, Indonesia mengambil peran kekuasaan administrasi dari kolonial Belanda pada 1 Mei 1963 untuk mendorong hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Jadi, 1 Mei 1963 itu adalah penyerahan kekuasaan administrasi kolonial, bukan penyerahan kedaulatan West Papua ke tangan Indonesia.Artinya, Indonesia diberi mandat untuk memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua, sama dengan mandat yang diemban Australia untuk memerdekakan PNG, atau Inggris kepada Fiji, Prancis dan Inggris kepada Vanuatu, Portugis kepada Timor Leste, atau sekarang Prancis yang sedang melaksanakan referendum untuk Kanaky.
Mandat inilah yang tidak dilaksanakan Indonesia sampai saat ini. Pepera 1969 bukan suatu penentuan nasib sendiri, karena tidak dilaksanakan sesuai prinsip dan standar hukum internasional. Indonesia tidak melaksanakannya sesuai persyaratan prosedur internasional sebagaimana Pasal 73 Piagam PBB. Pepera 1969 bukan suatu integrasi tetapi aneksasi sepihak karena keputusan untuk berintegrasi dengan sebuah negara yang sudah ada bisa sah hanya jika proses integrasi itu memenuhi persyaratan-persyaratan Prinsip IX Resolusi Sidang Umum PBB 1541(XV).

Melinda Janki, pengacara Internasional mengatakan: “Pepera gagal memenuhi satu pun kriteria untuk sebuah proses penentuan pendapat rakyat yang sah di bawah hukum internasional”. Pomerance menganggap Pepera sebagai “sebuah pro forma (basa-basi) dan tindakan palsu. Cassese mendeskripsikan integrasi West Papua ke Indonesia sebagai “sebuah penyangkalan besar terhadap hak penentuan nasib sendiri, sebuah pilihan palsu, sebuah sandiwara dan pengkhianatan besar terhadap prinsip penentuan nasib sendiri.

Karena itu, teritori West Papua hingga saat ini berstatus sebagai wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (non self government territory) dibawa pendudukan kolonial Indonesia. Sehingga Indonesia memegang mandat kepercayaan suci untuk wajib segera memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua sesuai piagam PBB.

Pelinus Jubir Internasional KNPB,
Victor Yeimo
Di bawah sinar mentari yang jarang tembus, ibu itu menggenggam erat tangan anaknya, memimpin mereka melalui jalan setapak yang berliku di rimba raya. Mereka harus berjalan dalam keheningan, memadamkan nafas mereka untuk menghindari pendengaran prajurit penjajah yang terus mengintai. 

Terkadang, dalam kesendirian malam, suara tangisan bayi yang lapar dan rintihan yang penuh kelelahan memenuhi hutan itu. Ibunda yang penuh cinta melumuri wajah anak-anaknya dengan air mata yang hangat, berusaha menenangkan mereka dengan senyuman yang rapuh. Meskipun perut mereka terasa kosong, mereka masih memiliki api keberanian yang berkobar dalam diri mereka.

Di dalam rimba yang liar, ibu itu mengajar anak-anaknya tentang warisan mereka, tentang hak mereka atas tanah yang dulu menjadi tempat mereka bermain dan tumbuh bersama. Ibu menceritakan tentang keberanian leluhur mereka yang melawan penjajah, menekankan pentingnya kemerdekaan bangsanya. Mereka tetap setia berjuang, melewati sungai-sungai deras dan gunung-gunung yang curam, dengan harapan yang terukir dalam hati mereka.

Di malam-malam dingin, ketika keheningan tergantung di antara daun-daun lebat, ibu itu berdoa dengan penuh harapan, memohon perlindungan untuk anak-anaknya. Ia tak pernah lelah menguatkan hati mereka, mengingatkan mereka akan tujuan mulia yang mereka perjuangkan, menanamkan keyakinan bahwa kebebasan adalah hak mereka yang tak bisa dirampas.

Suatu ketika, dalam kelamnya hutan, di tengah gemuruh hati yang tak menentu, ibu itu menggenggam erat tangan anaknya yang kecil. Dia menatap matanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan anaknya yang gemetar. "Diamlah, anakku," bisiknya lembut. "Musuh mendekat, kita harus bersembunyi. Jangan menangis, tetaplah berani."

Anak itu menatap ibunya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran, tetapi ia mencoba menahan tangisnya. Dia tahu bahwa tangisan itu bisa mengkhianati mereka, mengundang bahaya yang mengintai di sekitar mereka. Dalam keheningan yang mencekam, mereka berdua menempuh upaya terakhir untuk bersembunyi di balik pepohonan yang rimbun.

Waktu berjalan dengan perlahan, ditandai oleh desir angin yang mengelus dedaunan dan suara langkah kaki prajurit penjajah yang semakin dekat. Hati sang ibu berdebar kencang di dada, namun ia mencoba menunjukkan keberanian dan ketenangan yang terusir oleh rasa takut. Dia berbisik kepada anaknya, "Jika ibu harus pergi, ingatlah, anakku, kau harus menjadi saksi. Ceritakan kepada dunia penderitaan kami, kekejaman yang terjadi di tanah kita. Jangan biarkan mereka melupakan kita."

Tangis anak itu hampir meledak di dalam dadanya, tetapi ia menahan dengan gigih. Dia tahu bahwa ibunya mengajarinya untuk menjadi kuat dan gigih, untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan meskipun dalam penderitaan terdalam. Dia mengangguk pelan, menunjukkan tekadnya untuk melanjutkan perjuangan ibunya jika saat itu tiba.

Suara langkah kaki semakin dekat, dan dalam sekejap, prajurit penjajah muncul di antara rimbunan pohon. Ibu itu menutupi mulut anaknya dengan tangannya, memastikan bahwa tidak ada suara yang terlontar. Ia memandang mata anaknya dengan penuh cinta dan kesedihan, lalu memberikan isyarat untuk tetap bersembunyi.

Walaupun teror dan kegelapan menyelimuti hatinya, sang ibu tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia menyerahkan hidupnya sebagai tanda perlawanan terakhir, untuk memastikan bahwa anaknya akan hidup sebagai saksi atas kekejaman penjajah. Dalam ketegangan yang melanda, prajurit penjajah itu menghampiri mereka dengan seraut wajah penuh keangkuhan.

Namun, di dalam hati sang anak, nyala api perlawanan berkobar. Ia menyimpan dalam dirinya janji untuk ibunya, untuk menjadi suara yang tak akan padam, untuk meneruskan perjuangan dan mengungkapkan kebenaran kepada dunia. Ia tahu bahwa tangisan tak akan memadai untuk menggambarkan kekejaman yang terjadi. Ia harus menjadi saksi hidup yang melawan lupa.

Ia bertekat meneruskan perjuangan ibunya, menyuarakan kebenaran yang terpendam dan memperjuangkan kemerdekaan yang masih belum mereka raih. Dalam hatinya terukir janji suci, bahwa takkan ada lagi warga yang terlupakan di hutan, bahwa pengorbanan sang ibu tidak akan sia-sia.

***
Lambat laun anak ini tumbuh dewasa di tengah kota. Dia menyaksikan bahwa di tengah hiruk pikuk dan gemerlapnya kehidupan di kota, seringkali terlupakan bahwa di dalam hutan yang sunyi itu, ada warga pengungsi yang terluka, yang berjuang dengan segala daya dan upaya untuk meraih kemerdekaan yang mereka impikan. Mereka menghadapi kesulitan dan penderitaan, sementara penjajah menikmati kesenangan semu yang diperoleh dari eksploitasi dan penindasan.

Dia masih berdiri kaku. Melintasi setiap keramaian kota. Bingung, kepada siapa segala derita harus diungkap. Hanya tembok-tembok bisu yang memandanginya dengan penuh amarah. Ia menyimpan sakit dan memilih diam karena bersuara hanya mengganggu kesenangan semu warga terjajah.

Sesekali berteriak dari ketinggian bukit di pinggir kota. Tengadahlah, wahai kota yang sibuk! Dengarkanlah suara terhina yang terdengar samar dari dalam rimba raya. Adakah kamu merasa puas dengan kesenangan palsu yang kamu raih diatas penderitaan bangsamu? Adakah kamu tidak melihat bahwa di balik gemerlap kota, ada warga saudaramu yang berjuang dalam ketidakpastian dan ketakutan?

Wahai kota yang terlena, jangan biarkan dirimu terbelenggu oleh keserakahan dan kepentingan diri sendiri. Lihatlah dengan hati yang peka, dengarkanlah cerita penderitaan dan pengorbanan mereka yang masih terus bertahan di dalam hutan yang rindang. Mereka bukan sekadar bayangan yang terlupakan di antara kehidupan glamormu.

Sementara kau menikmati kenyamanan dan kebebasan palsu yang diperoleh dari penjajah, mereka terjebak dalam ketidakpastian dan bahaya setiap harinya. Mereka kehilangan tempat yang mereka panggil rumah, keluarga yang terpisah, dan mimpi-mimpi yang hampir mati. Apakah kamu bisa melihat luka-luka yang mereka bawa di tubuh dan jiwa mereka? 

Wahai kota yang tenggelam dalam kesia-siaan, adalah saatnya untuk terjaga dari tidurmu yang nyaman. Perhatikanlah nasib saudara-saudaramu yang terjajah di hutan. Jadilah suara yang menggema dalam kesunyian, jangan biarkan penderitaan mereka tenggelam dalam kebisingan dunia yang serba cepat ini.

Bersatu dan berdirilah bersama mereka, membawa keadilan dan kebebasan yang mereka perjuangkan. Jangan biarkan hiruk pikuk kota membutakanmu, tetapi biarkanlah belas kasihan dan empati menjadi pemandu langkahmu. Bersama, mari kita berjuang untuk menghancurkan penjajah dan membangun dunia yang adil dan merdeka.

Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa kehidupan yang bermakna bukan hanya tentang kesenangan dan keuntungan pribadi. Kita memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka yang paling terpinggirkan, yang berjuang demi hak-hak asasi mereka. Hentikan kebodohan dan keegoisan, dan bersatu dalam solidaritas dengan warga pengungsi yang berjuang di dalam hutan, membangun jembatan menuju kemerdekaan.

Diamlah anakku, Musuh Mendekat!

Post:(kenangkan Sa)

Suara ini hanya tinggal separuh 
Selebihnya ada pada pilihan hati
Selalu bawa mulut 'tuk menuntut 
Niscaya kebebasan ada menunggu

Riak kaki harus kibas debu jalanan
Tangan tebar usap keringat jalanan
Bibir wajib mengincar angin jalanan 
Disanalah bersemayam kebebasan

Jika denyut nadi kita sama dibadan
Berbicara dalam hati pun serupa 
Saling bergenggam erat jemari 
Melangkah pun seirama dalam juang

Itu pertanda kita sejiwa sayang 
Jodoh yang disatukan kolonial 
Cinta yang diiklarkan penindasan 
Memadu asmara dimedan revolusi

Oh kekasih jiwaku,
Ini adalah surat cinta dalam sajak
Utuh hati kita berkasmaran disana
Hingga buai benih-benih pemberontakan

Hollandia, 11-12-18
Giyai Aleks
Puisi 27.

Kami beli sebatang rorok dikios pendatang.
Dikantor sepapua bendahara orang pendatang
Kepala bank Papua orang pendatang 
Pengendali atmintrasi lembaga Papua orang pendatang 

Dijawa tidak ada orang papua terima kerja perkantoran.
 Sulawesi tidak terima orang Papua kerja bahkan domisili sementarapun sulit jangankan memiliki eKTP.

Ditanah Jawa Sulawesi mereka rasis terhadap orang Papua bukti Agustus tgl 19 -2019 tapi DIPAPUA terima mereka bagai raja dan ratu.

Kepala Telkom Papua orang pendatang 
Kepala Pelni wilayah Papua orang pendatang 
Kepala PLN PDAM Papua orang pendatang 

Karyawan perusahan orang pendatang 
Tempat jual minuman orang pendatang 
Diskotik narkoba narkotika BAR - BAR tempat karoke orang pendetan.
Bupati DPR TNI polri orang pendatang 

Sopir angkut para - para pinang tukan ojek tukan buah tukan bakso sekuriti karyawan semua orang pendatang apa guna kita tercipta DIPAPUA.

Menurut orang Jawa Sulawesi dan Maluku orang Papua bodo tertinggal miskin..?"

#Derita tangisan papua#
By: Kristian Griapon, Maret 2, 2024.

Orang-orang Papua Barat masuk dalam entitas subjek hukum internasional karena adanya perjuangan kemerdekaan Papua Barat yang masih bertahan, berlanjut dan berkembang hingga ke dunia internasional dengan organisasi perjuangannya yang jelas.(TPNPB-OPM dan ULMWP).

Papua Barat Ibarat api dalam sekam peri bahasa klasik orang melayu, dalam pengertian integrasi wilayah geografi New Guinea Bagian Barat/Papua Barat belum final, sehingga para penguasa Jakarta jangan keliru dengan penafsiran politiknya “Papua Barat sudah final di dalam NKRI”.

Kita tidak bisa selamanya berada dan bertahan dalam situasi, kondisi dan pemahaman klasik (Kuno), karena perkembangan dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mendorong manusia beranjak dari peradaban kuno ke peradaban modern, manusia telah memposisikan manusia sebagai manusia, dimana manusia yang satu sama derajatnya dengan manusia yang lainnya, tidak memandang etnik dan budaya.

Perubahan peradaban dunia mendorong evolusi perkembangan hukum internasional ke arah kedaulatan Negara tidak bersifat mutlak, dibatasi oleh hubungan internasional, sehingga hubungan antar Negara menjadi kebutuhan timbal-balik dan saling melengkapi yang tidak bisa di hindari oleh Negara manapun di dunia.

Subjek hukum internasional yang dulu berada dan terfokus pada lembaga Negara, kini telah berkembang dan bertambah ke lembaga non-negara dan individual, sehubungan dengan evolusi perkembangan hukum internasional yang didorong oleh perkembangan dalam hubungan internasional yang dilandasi moralitas tinggi.

Orang asli Papua yang merupakan salah satu kelompok etnik dan budaya yang mendiami wilayah geografi New Guinea bagian Barat sudah tidak bisa dipandang sebelah mata oleh orang-orang Indonesia. Karena perubahan jaman telah mengangkat dan memposisi orang asli papua bagian dari masyarakat global, sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan manusia lainnya di dunia.

Kebenaran tentang jadi diri dan keberadaan orang asli Papua yang telah ditutupi sejak Indonesia mengambil alih kekusaan atas wilayah New Guinea Bagian Barat, kini telah terbuka ke publik dan menjadi pemandangan umum di dunia internasional.(Kgr)
By:Kristian Griapon, Maret 7, 2024

Hak kemerdekaan sutatu kelompok etnik dan budaya di sebuah wilayah geografi yang dikuasai oleh sebuah Negara merdeka (prinsip erga omnez), sifatnta pasif. Namun ketika Negara yang bersangkutan lalai memenuhi kewajibannya memproteksi kelompok etnik dan budaya yang dikuasainya, terutama lalai memberikan jaminan perlindungan terhadap hak hidup, serta perlakuan sewenang-wenang diluar aturan hukum Negara, maka hal itu dengan sendirinya akan mengaktifkan hak kemerdekaan yang sifatnya pasif, disitulah terjadi pemberontakan kemerdekaan.

Konteks diatas menunjuk pada wilayah geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), Indonesia sebagai Negara yang diberi mandat proteksi berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 untuk mengolah Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dan Memproteksi Penduduk Aslinya, namun yang terjadi, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan perlakuan sewenang-wenang diluar aturan hukum negara (impunitas alat kekuasaan Negara), yang terjadi di Papua Barat.

Oleh karena itu perjuangan kemerdekaan rakyat papua barat sah berdasarkan prinsip erga omnez, dan masuk dalam entitas subjek hukum internasional, sehingga dengan sendirinya menimbulkan hak dan kewajiban internasional yang harus dipahami, diperhatikan dan ditaati olah para pejuang kemerdekaan Papua Barat, baik itu kombatan politiknya maupun kombatan militernya, terutama yang berkaitan dengan hukum publik internasional dan hukum humaniter internasional.

Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua Barat memiliki hak untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan masyarakat interternasional, dalam memperjuangkan hak kelompok etnik dan budaya di sebuah wilayah geografi untuk mendirikan sebuah Negara berdaulat (prinsip erga omnez), guna melindungi seluruh bangsa Papua Barat dan wilayah geografinya yang masuk dalam wilayah kedaulatan negara.

Pada era globalisasi setelah perang dinging, perjuangan rakyat Papua Barat yang telah berlangsung dan bertahan sejak tahun 1961 harus diakhiri melalui jalan perundingan damai antara rakyat Papua Barat dengan penguasa negara Republik Indonesia, Karena perjanjian antara negara Indonesia dan Belanda diluar konteks rakyat Papua Barat tidak menyelesaikan masalah, justru telah menyulut konflik yang berkepanjangan dan melahirkan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang Papua Barat di wilayah New Guinea Bagian Barat.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Gambar Ilustrsi: Operasi Militer Indonesia di Papua Barat
Tuan Dusun di Maam, Kampung Nakias, Distrik Nguti atas nama Lamek Wayoken dianiaya oleh oknum brimob tanpa ada kesalahan hingga mengalami kebutaan.

Beliau dianiaya oleh Brimob yang ditugaskan untuk menjaga Perusahaan milik Korindo di Maam, menggunakan tali fembel yang dihantamkan ke kepalanya dan mengenai tepat di mata sebelah kanan korban.

Nama oknum Brimob yang menganiaya sampai sekarang masih belum di ketahui, namun komandan pos yang berjaga saat itu bernama Hermawan Darwin Toto.

Semoga kasus ini segera terungkap, mengingat korban adalah tulang punggung keluarga, anak asli Marind pemilik Negeri Anim Ha.

Kasus ini sedang di bantu Advokasi oleh Pusat Konsultasi Bantuan Hukum, (PKBH) Musamus, Nasri Wijaya,S.H.,S.Sos,.M.H dan Tim Kuasa Hukum Rudi Iriyanto Horong.,S.H.

Semoga kasus ini menjadi perhatian bagi kita semua. Karena Tuan" dusun sudah tidak berdaya. Memangnya cara menyelesaikan masalah dengan siksa orang kah ?