Articles by "decolonization"
Showing posts with label decolonization. Show all posts

Since the colonial era, West Papuans have been engaged in a long struggle for their independence and freedom from outside rule, first as a Dutch colony, and then, in a rather complex and underhanded turn of events, as an indigenous land occupied by Indonesia. On the world map, the island can be seen split into two, and if anyone were to give pause as to how one island is split into two countries with distinctively different cultural and ethnic identities, we need to trace the series of events that occurred at the moment of decolonization.

With the Asia-Pacific region a battleground for influence during the Cold War, the actions of the Dutch were being closely monitored by the United States. Expecting its own independence to come, West Papua raised the Morning Star flag at the end of 1961; but this same year, Indonesian president Ahmed Sukarno announced Indonesia’s intentions to incorporate West Papua into its territory. With the threat of communist influence in Indonesia, which was engaging in a military build-up with arms supplied by the Soviet Union in order to stake its claim to West Papua, the US urged the Dutch to support Indonesia’s request. An internal memorandum from then US Secretary of State Dean Rusk, outlined the ways in which both parties might be convinced to agree to the US’s proposed course of action, serving their political interests.

Recently declassified documents from the NSA archives confirm that from the beginning, there was no real intention for West Papuans to have any chance of independence. A telegram from the US Department of State refers to the West Papuans as “stone-age, illiterate tribal groups whose horizons are strictly limited…Free election among groups such as this would be much more of a farce than any rigged mechanism Indonesia could devise.”

For a newly independent nation like Indonesia trying to stand on its own legs in the global economy, West Papua’s vast richness in natural resources was a treasure chest. Those riches include the Grassberg mine, one of the largest reserves of gold and copper in the world, operated by Freeport-MacMoran.  Today, Grasberg Mine remains one of Indonesia’s most important sources of revenue, and the recent discovery of gold deposits in Wabu Block promises to be even larger, heralding an even greater threat to the villages, food, water sources and culture of indigenous peoples. The development of Wabu Block will lead to an increase in displacement, forcing communities to become either translokal or cross the border to the refugee camps in Papua New Guinea.

In a report from 2014 analyzing satellite images of West Papua over the years, it is noted that roughly 83% of palm oil expansion has occurred at the expense of forests. Government policy allows “palm oil estates to be twice the size of those in other provinces in Indonesia.”

Yet another megaproject slated to take place on West Papuan land is the Trans Papua Highway. Penetrating remote areas, the network of roads is planned to be 2,700 miles in length with the aim of increasing access to the minerals, timber, palm oil plantations and other exploitable natural resources. While the government byline is that the highway is yet another venture that will produce jobs and increase quality of life, the Melanesian communities know only too well what this means for their lands, their customs and ways of life.

The myriad plans that the Indonesian government have for West Papua might possibly produce jobs for some, but what it will certainly do is create toxic waste, poison food and water sources, devastate some of the world’s richest coral reefs, destroy some of the most untouched and biodiverse forest left on our planet, produce large carbon sinks and further displace and oppress the West Papuans.  The rainforest area covering the island of Papua is the third largest on the planet.  It’s protection is therefore crucial for the planet.

And directly linked to this development, a we see a level of state repression that is barely reported in the international media. In rural areas of West Papua where the increasingly disenfranchised and internally displaced peoples are forced to watch their land be exploited and themselves ethnically cleansed. News from West Papua regularly reports military and police brutality, arrests, and the killing of independence activists. Whilst transmigration, as an official policy, ended in 2000, economic migration continues to this day, and its continuation belies its relative success.In addition to the environmental degradation from mining, millions of hectares of land are set aside by the Indonesian government for palm oil plantations. The production of palm oil increases soil erosion, decreases water quality, leads to loss of forest cover and habitat for endangered species and contributes to climate change through its production of carbon sinks. In fact, Indonesia is the third largest global emitter of greenhouse gasses. West Papuans also note a link to an increase in disease, air pollution and crop pests.

Media blackouts, arrests and the killing of activists are all regular features of life for West Papuans under a regime that has no plans to let go of their most profitable territory. As awareness of the situation in West Papua increases, the Free West Papua Campaign team is working around the clock to build the future their people desire and envision. This July, the Melanesian Spearhead Group Summit (MSG) will be held in Port Vila. A decision will be made as to whether West Papua will finally be granted full membership. If successful, this will be one of the biggest diplomatic wins for them to date.  It also may well be crucial for protecting the West Papuan rainforest and the future for us all.

 
Samira Homerang Saunders is a Research Assistant at the Centre for Climate Crime and Justice. A longer version of this article was posted by the International State Crime Initiative.
By: Kristian Griapon, Oct 10, 2022
 
New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) setelah perang dunia ke-2 (perang pasifik) menjadi “Daerah Protektorat Kerajaan Belanda”. Berbeda dengan New Guinea Bagian Timur (PNG), setelah perang dunia ke-1 menjadi “Daerah Mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB)” dibawah kekuasaan Kerajaan Inggris. Dan setelah perang dunia ke-2 terbentuknya PBB pengembangan dari LBB, maka daerah-daerah mandat LBB dibawah kekuasaan negara-negara sekutu yang memenangkan perang dunia ke-1, dialihkan statusnya menjadi Daerah Perwalian PBB, yang diatur melalui system perwalian internasional. Daerah Perwalian PBB, diantaranya Wilayah New Guinea Bagian Timur (PNG) yang statusnya dari “Daerah Mandat LBB (Inggris) beralih menjadi Derah Perwalian PBB (Australia)” yang dimerdekakan pada 16 September 1975.

Status Daerah Perwalian berbeda dengan Status Daerah Protektorat, Perbedaannya: 

Daerah Perwalian adalah wilayah-wilayah geografi yang ditetapkan oleh PBB kedalam system perwalian internasional berdasarkan piagam dasar PBB setelah perang dunia ke-2, sebagaimana diatur dalam pasal 75 s/d pasal 85 Bab XII dan pasal 86 s/d pasal 91 Bab XIII. Daerah Perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari AS, adalah Negara Kepulauan Palao dikawasan regional pasifik pada 1 Oktober 1994.

Daerah Protektorat adalah Wilayah Geografi di luar kedaulatan suatu negara, yang dikuasai dan dikelola secara terpisah melalui system pemerintahan negara, yang disebut Daerah Otonom (daerah pendudukan suatu negara). Wilayah-Wilayah protektorat diatur melalui pasal 73 dan pasal 74 Bab XI piagam dasar PBB, dibawah Pengawasan Komite Dekolonidasi PBB.

Konflik Kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian barat antara Indonesia dan Belanda telah memposisikan New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah protektorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752. Dan Indonesia yang menerima tanggungjawab transfer kekuasaan dari Belanda melalui PBB (UNTEA), statusnya menjalankan admistrator PBB di New Guinea Bagian Barat, mempersiapkan penduduk asli Papua menuju penentuan nasib sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam klausul pasal-pasal perjanjian New York, 15 Agustus 1962, bagian dari implementasi piagam dasar PBB pasal 73 di daerah tidak berpemerintahan sendiri.

*). Pernyataan Dr.Djalal Abdoh Pada Masa Berakhirnya Untea Di New Guinea Bagian Barat :

”Indonesia yang akan Memerintah Sebagai Pengganti PBB”. Ini berarti bahwa, Kepala Pemerintahan UNTEA Dr. Djalal Abdoh akan pergi bersama pasukan keamanan PBB topi baja biru pulang kenegeri tempat asalnya. Penugasan mereka sudah akan berakhir, dan ’’mereka akan diganti oleh pasukan keamanan Indonesia. Pasukan ini akan mengambil alih tugas membantu polisi menjaga ketertiban umum”.

Bendera biru dari PBB tidak akan lagi berkibar disamping bendera indonesia.”Undang undang Indonesia akan berlaku, akan tetapi saudara orang Papua tidak akan menjadi warga negara Indonesia begitu saja. Persoalan ini harus saudara yang menentukan sendiri."

Saudara harus menentukan sendiri sebelum akhir tahun 1969, apakah saudara ingin melanjutkan dengan indonesia, ataukah saudara ingin melepaskan ikatan saudara dengan Indonesia?. Dengan alasan ini saudara boleh juga mengatakan bahwa jangka waktu Pemerintahan Indonesia akan menjalankan jangka waktu persiapan menuju penentuan nasib sendiri melalui pemilihan bebas. 

PBB memberikan arti yang sangat penting kepada dasar pemilihan bebas dari persetujuan itu, yaitu sejumlah pasal dari persetujuan itu mengarah kepada persiapan untuk Menentukan Nasib Sendiri ”.

Marilah kita lihat lebih dulu apa yang menjadi "Urusan Pemerintah Indonesia yang menurut kata persetujuan itu yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan saudara guna pemilihan bebas."

”Setelah pemindahan tanggung jawab pemerintahan penuh kepada Indonesia, tugas utama dari Indonesia adalah usaha lebih lanjut mempergiat pendidikan untuk rakyat, memberantas buta huruf, dan memajukan perkembangan saudara dibidang sosial, kebudayaan dan ekonomi untuk dapat menulis, membaca, mengolah kekayaan alam daerah saudara, sehingga saudara dapat memainkan peranan yang lebih baik dalam suatu pilihan yang akan menentukan masa depan saudara “.

**). Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat Berada Dalam Krisis Penyelengaraan Negara Setelah Ditransfer Kekuasaan Dari  UNTEA Ke Indonesia:

Indonesia Negara yang menguasai serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) sejak mengambil alih kekuasaan negara dari Negara kerajaan Belanda, yang ditransfer melalui UNTEA pada 1 Mei 1963.

Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat termasuk dalam kategori “Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri” di kawasan regional pasifik. Wilayah New Guinea Bagian Barat menjadi Daerah Protectorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752, implementasi dari New York Agreement, 15 Agustus 1962, daerah ini yang dipersiapkan menuju referendum berdasarkan standar kebiasaan internasional pada tahun 1969.

Krisis Penyelenggaraan Negara Oleh Indonesia, negara yang menguasai, serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, dimulai sejak transfer kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada, 1 Mei 1962. Krisis itu dapat diamati dari berbagai kebijakan negara yang berdampak pada berbagai pelanggaran berat HAM terhadap Penduduk Asli Papua, di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Indikasi berbagai pelanggaran teramati jelas sejak awal Indonesia hadir di bumi Penduduk asli Papua, dimana terjadi tindakan represif besar-besaran terhadap kebebasan dasar penduduk asli Papua yang dijamin oleh hukum internasional, tertuang dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi Indonesia - Belanda, wujud dari perjanjian internasional.

Status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat hingga saat ini tidak jelas  statusnya di dalam negeri Indonesia maupun di dunia internasional, sejak wilayah itu ditransfer kekuasaan dari UNTEA ke Pemerintahan Republik Indonesia. Faktor penyebab utama adalah New York Agreement yang dibuat Indonesia-Belanda diluar dari tata aturan Majelis Umum PBB, sehingga New York Agreement kedudukannya lemah dan tidak mengikat Indonesia untuk menerapkan (menjalankan) klausul dari isi perjanjian itu, dan masyarakat internasional melihat masalah New Guinea Bagian Barat sudah diselesaikan melalui New York Agreement.

Belanda sudah tidak berurusan lagi dengan New Guinea Bagian Barat setelah wilayah itu ditransfer ke UNTEA dan PBB juga demikian setelah ditransfer ke Indonesia. 

Indonesia Negara anggota PBB yang menerima tanggungjawab menjalankan administrator PBB di New Guinea Bagian Barat, harus konsisten terhahadap perjanjian internasional yang telah diratifikasinya, yang menjadi dasar diterbitkan resolusi majelis umum PBB 1752 yang memberi ruang atau dengan kata lain menjadi jaminan PBB mengintervensi wilayah New Guinea Bagian Barat..

Indonesia tidak konsisten terhadap perjanjian international yang telah dibuat dan diratifikasinya, dimana Sengketa Wilayah New Guinea Bagian Barat dijadikan “Solusi Satu Negara”, artinya Indonesia memasukkan wilayah geografi New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia tanpa melalui konsensus yang melibatkan seluruh penduk asli Papua yang mempunyai hak pilih, 

“Solusi Satu Negara” mengacu pada resolusi konflik Israel-Palestina melalui pembentukan sebuah negara kesatuan, atau federasi/kon federasi Israel-Palestina. 

Dalam klausul perjanjian New York pasal XVIII poin (d) menjelaskan:
bahwa “Persyaratan untuk pilhan bebas adalah semua orang dewasa, pria dan wanita, tidak termasuk warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktek hukum internasional, dan untuk mereka yang menjadi penduduk pada saat penandatanganan kesepakatan ini dibuat, dan termasuk penduduk yang berangkat setelah tahun 1945 dan kembali ke wilayah tersebut untuk melanjutkan tempat tinggal setelah penghentian administrasi Belanda”. Dan pada pasal XIX menjelasakan bahwa “Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan melapor kepada Sekretaris Jenderal atas pengaturan yang dicapai sesuai kebebasan memilih”, Doc;No.6311.

Konflik Wilayah New Guinea Bagian Barat yang mengambang sejak Indonesia mengambil alih kekuasaan dari UNTEA hingga saat ini, mengacu pada “Solusi Dua Negara”. Artinya Penduduk asli Papua menuntut pengakuan Indonesia terhadap “Deklarasi 1 Desember 1961”, yang adalah Wujud dari Implementasi Manifesto Politik Bangsa Papua Barat pada tahun 1961. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Peta Wilayah Geografi  New Guinea