Tidak heran bila Bernard Agapa menjadi kawan Papua pertamaku.
Bernard memang adalah salah satu kunci Papua di Jakarta. Aktivis Papua yang sedang berkunjung ke Jakarta umumnya akan menghubungi Bernard karena ia sangat bisa diandalkan, bertanggungjawab, rendah hati, ramah, tanpa pamrih, pintar, dan gesit.
Bersama yang lain, kami membangun Papua Itu Kita dan aku tumbuh di isu Papua dari situ. Ia adalah salah satu sumber utama bagaimana aku belajar mendengar langsung dari orang Papua, termasuk untuk tidak mengulangi kesalahan yang sering sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh aktivis Jakarta dalam menangani isu Papua.
Bernard ada di sampingku, di awal mataku baru terbuka sedikit-sedikit tentang Papua, hingga aku yang sekarang dengan lantang berpendirian bahwa Papua harus bisa menentukan nasib sendiri.
Bernard memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi, tampak dari banyaknya ia bersolidaritas dengan gerakan pro-demokrasi Indonesia. Ia adalah sebuah jembatan kemanusiaan Papua dengan Indonesia. Ia pernah curhat kepadaku ingin kembali ke Papua, namun mengurungkan niatnya karena sadar akan peran besarnya itu di Jakarta.
Tentu akan ada yang tidak sama lagi dengan aktivisme isu Papua di Jakarta tanpa adanya Bernard. Aku belum bisa membayangkan ada yang bisa menggantikan aktivis yang segesit itu.
Dua malam lalu aku mengontak Bernard untuk meminta foto kami dua ketika bersama ke festival musik beberapa tahun yang lalu. Mungkin firasat itu sudah ada.
Begitu muda. 29 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan bayi. Bila berkenan sedikit membantu keluarga yang ditinggalkannya, saya lampirkan jalurnya di foto berikut ini.
Selamat beristirahat, kami akan melanjutkan perjuangan ini, Ber.