Articles by "Freeport McMoran"
Showing posts with label Freeport McMoran. Show all posts
Empat belas tahun silam, sebuah peristiwa kelabu yang terjadi hari Kamis, 16 Maret tahun 2006 di depan Kampus Uncen Abepura. Peristiwa ini dikenal dengan nama kasus “16 Maret Uncen Berdarah”. Peristiwa itu mengakibatkan tewasnya 5 aparat keamanan [4 orang polisi dan 1 orang intel dari TNI AU]. Belasan polisi dan puluhan mahasiswa cidera dan 1 orang mahasiwa ditembak mati dalam penyisiran pada hari berikutnya.

Operasi pengejaran terhadap para demonstran oleh Polisi disertai Penyisiran ke Asrama Mahasiswa di Abepura, berbuntut pada peradilan 23 Aktivis Front Pepera dan Parlemen Jalanan dan Mahasiswa di Pengadilan Negeri Jayapura.

Kasus ini dilatarbekangi, adanya Freeport di Papua. Pada 31 Agustus 2002 terjadi penembakan di Areal Freeport mengakibatkan, tewasnya warga AS Leon Edwin Burgon (71) dan Ricky Lynn Spier (41), serta seorang WNI Bambang Riswanto. Insiden terjadi di Mil 62 Tembagapura, Papua, jalan menuju pertambangan emas dan tembaga di Timika yang dioperasikan PT Freeport McMoran.

Kepolisian Indonesia menuduh, penembakan itu dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dibawa pimpinan Kelly Kwalik. Pada awal Juli 2004, Mabes Polri menetapkan Antonius Wamang sebagai tersangka pembunuhan dua warga AS dan satu warga Indonesia di Timika. Kesimpulan itu merupakan hasil kerja sama antara Polda Papua dan FBI.

Biro Penyelidik Federal AS, FBI turut membantu penangkapan. Kasus yang berlarut-larut ini sempat dijadikan alasan bagi beberapa anggota Kongres AS untuk terus memberlakukan embargo suku cadang senjata terhadap Indonesia. Apalagi sempat disebut-sebut adanya keterlibatan aparat TNI dalam peristiwa ini. AS juga menghentikan program International Military Education and Training (IMET

Penangkapan dilakukan pada Pada 12 Januari 2006, dengan kerja sama biro penyelidik federal Amerika Serikat, FBI dengan melibatkan Polres Mimika dan Tim Mile 62, 63 yang dipimpin Wakil Kepala Polda Papua. Direktur Elsham Papua saat itu, Aloysius Renwarin, menilai penangkapan itu tidak prosedural. Sebab, polisi tak membawa surat penangkapan.

Dari hasil pemeriksaan awal, polisi hanya menetapkan 8 dari 12 yang dituduh pemberontak separatis Papua sebagai tersangka. Empat orang lainya yang dilepaskan karena tidak terbukti terlibat. Pada 14 Januari, 8 tersangka diterbangkan ke Jakarta. Kedelapan tersangka adalah Anthonius Wamang (53), Joni Kasamol alias Agus Anggaibak (15), Johanis Kasomay (51), Ishak Onawane, Yulianus Deikme, Hardi Tsugama, Darius Iwak, dan Felix Dagme. Mereka dijerat pasal 340 jo 55 (1) ke-1 KUHP, pasal 338 jo 55 (1) ke-1 KUHP, dan pasal 351 (2) jo 55 (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal seumur hidup atau hukuman mati.

Tindakan penangkapan terhadap Terhadap Antonius Wamang dan 6 terdangka lainya diprotes oleh Parlemen Jalanan (PARJA) dan Front Pepera Papua Barat (F Pepera) dan Mahasiswa Papua. Mereka menolak keberadaan PT Freeport Indonesia dan militer di Tembagapura. Ada 3 tuntutan, Pertama, meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kedua, Meminta pasukan TNI/Polri ditarik dari lokasi Freeport. Ketiga bebaskan 7 tahanan akibat bentrok di Timika.

Saat itu, Kapolda Papua dijabat oleh Irjen Pol. Tommy Jacobus, yang telah tutup usia pada Sabtu, (22/6/2019) di Rumah Sakit Polri Jakarta, dan Direktur Reskrim Polda Papua, dijabat oleh AKBP Paulus Waterpauw, yang kini menjabat di Polda Papua saat ini.

Korban Peristiwa 16 Maret Uncen Berdarah dan Penyisiran

Dalam Buku Memorial Passionis yang diterbitkan SKPKC Fransiskan Papua tahun 2006, menguraikan terjadinya bentrok antar polisi dan mahasiswa dalam peristiwa 16 Maret di Depan Uncen yang mengakibatkan jatuhnya korban akibat peristiwa tersebut.

Dalam Lapornya mejelaskan, kericuhan terjadi pukul 12.15 WIT, ketika ada beberapa pendemo yang melempar batu dan botol ke arah aparat yang sedang bernegosiasi dengan Arnoldus Omba (Ketua Front Pepera Kota Jayapura) dan Selpius Bobii (Sekjen Front Pepera PB). Setelah lama bernegosiasi, massa tidak mau pemblokiran jalan dibuka, namun aparat tetap menginginkan agar pemblokiran jalan dibuka. Aparat dengan pakaian anti huru hara jalan berbaris dan berusaha mendesak massa.

Massa mundur ke halaman kampus Uncen dan melemparkan batu, botol, kayu ke arah aparat yang berjumlah sekitar 20-an orang. Aparat terpaksa mundur dan massa menyerbu ke arah aparat. Melihat kejadian itu, anggota intelijen coba membantu dengan mengeluarkan tembakan. Aksi masa semakin brutal dan mereka menghujam pukulan dan batu ke arah aparat yang terjatuh. Akibatnya 4 anggota aparat keamanan tewas.

SUARA PAPUA

Home Berita Headline Melawan Lupa: Uncen Berdarah 2006 dan Penembakan di Freeport
BeritaHeadlineJendela PapuaSejarah
Melawan Lupa: Uncen Berdarah 2006 dan Penembakan di Freeport
By Suara Papua- 16 Mar 2020, 12:01 WP03860

Demonstrasi di depan Uncen Abepura pada 16 Maret 2006. (baliemnet.blogspot.com)
Empat belas tahun silam, sebuah peristiwa kelabu yang terjadi hari Kamis, 16 Maret tahun 2006 di depan Kampus Uncen Abepura. Peristiwa ini dikenal dengan nama kasus “16 Maret Uncen Berdarah”. Peristiwa itu mengakibatkan tewasnya 5 aparat keamanan [4 orang polisi dan 1 orang intel dari TNI AU]. Belasan polisi dan puluhan mahasiswa cidera dan 1 orang mahasiwa ditembak mati dalam penyisiran pada hari berikutnya.

Operasi pengejaran terhadap para demonstran oleh Polisi disertai Penyisiran ke Asrama Mahasiswa di Abepura, berbuntut pada peradilan 23 Aktivis Front Pepera dan Parlemen Jalanan dan Mahasiswa di Pengadilan Negeri Jayapura.


Kasus ini dilatarbekangi, adanya Freeport di Papua. Pada 31 Agustus 2002 terjadi penembakan di Areal Freeport mengakibatkan, tewasnya warga AS Leon Edwin Burgon (71) dan Ricky Lynn Spier (41), serta seorang WNI Bambang Riswanto. Insiden terjadi di Mil 62 Tembagapura, Papua, jalan menuju pertambangan emas dan tembaga di Timika yang dioperasikan PT Freeport McMoran.

Kepolisian Indonesia menuduh, penembakan itu dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dibawa pimpinan Kelly Kwalik. Pada awal Juli 2004, Mabes Polri menetapkan Antonius Wamang sebagai tersangka pembunuhan dua warga AS dan satu warga Indonesia di Timika. Kesimpulan itu merupakan hasil kerja sama antara Polda Papua dan FBI.

Biro Penyelidik Federal AS, FBI turut membantu penangkapan. Kasus yang berlarut-larut ini sempat dijadikan alasan bagi beberapa anggota Kongres AS untuk terus memberlakukan embargo suku cadang senjata terhadap Indonesia. Apalagi sempat disebut-sebut adanya keterlibatan aparat TNI dalam peristiwa ini. AS juga menghentikan program International Military Education and Training (IMET).



BACA JUGA


Shocking Encounter! Man Records Beach Monster!

The Most Badass Moments With Figure Skaters

The Most Shameful Wedding Dresses
BACA JUGA


Shocking Encounter! Man Records Beach Monster!

The Most Badass Moments With Figure Skaters

The Most Shameful Wedding Dresses
Penangkapan dilakukan pada Pada 12 Januari 2006, dengan kerja sama biro penyelidik federal Amerika Serikat, FBI dengan melibatkan Polres Mimika dan Tim Mile 62, 63 yang dipimpin Wakil Kepala Polda Papua. Direktur Elsham Papua saat itu, Aloysius Renwarin, menilai penangkapan itu tidak prosedural. Sebab, polisi tak membawa surat penangkapan.

Dari hasil pemeriksaan awal, polisi hanya menetapkan 8 dari 12 yang dituduh pemberontak separatis Papua sebagai tersangka. Empat orang lainya yang dilepaskan karena tidak terbukti terlibat. Pada 14 Januari, 8 tersangka diterbangkan ke Jakarta. Kedelapan tersangka adalah Anthonius Wamang (53), Joni Kasamol alias Agus Anggaibak (15), Johanis Kasomay (51), Ishak Onawane, Yulianus Deikme, Hardi Tsugama, Darius Iwak, dan Felix Dagme. Mereka dijerat pasal 340 jo 55 (1) ke-1 KUHP, pasal 338 jo 55 (1) ke-1 KUHP, dan pasal 351 (2) jo 55 (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal seumur hidup atau hukuman mati.


Tindakan penangkapan terhadap Terhadap Antonius Wamang dan 6 terdangka lainya diprotes oleh Parlemen Jalanan (PARJA) dan Front Pepera Papua Barat (F Pepera) dan Mahasiswa Papua. Mereka menolak keberadaan PT Freeport Indonesia dan militer di Tembagapura. Ada 3 tuntutan, Pertama, meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kedua, Meminta pasukan TNI/Polri ditarik dari lokasi Freeport. Ketiga bebaskan 7 tahanan akibat bentrok di Timika.

Baca Juga: Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?
Saat itu, Kapolda Papua dijabat oleh Irjen Pol. Tommy Jacobus, yang telah tutup usia pada Sabtu, (22/6/2019) di Rumah Sakit Polri Jakarta, dan Direktur Reskrim Polda Papua, dijabat oleh AKBP Paulus Waterpauw, yang kini menjabat di Polda Papua saat ini.

Korban Peristiwa 16 Maret Uncen Berdarah dan Penyisiran

Dalam Buku Memorial Passionis yang diterbitkan SKPKC Fransiskan Papua tahun 2006, menguraikan terjadinya bentrok antar polisi dan mahasiswa dalam peristiwa 16 Maret di Depan Uncen yang mengakibatkan jatuhnya korban akibat peristiwa tersebut.


Dalam Lapornya mejelaskan, kericuhan terjadi pukul 12.15 WIT, ketika ada beberapa pendemo yang melempar batu dan botol ke arah aparat yang sedang bernegosiasi dengan Arnoldus Omba (Ketua Front Pepera Kota Jayapura) dan Selpius Bobii (Sekjen Front Pepera PB). Setelah lama bernegosiasi, massa tidak mau pemblokiran jalan dibuka, namun aparat tetap menginginkan agar pemblokiran jalan dibuka. Aparat dengan pakaian anti huru hara jalan berbaris dan berusaha mendesak massa.

Massa mundur ke halaman kampus Uncen dan melemparkan batu, botol, kayu ke arah aparat yang berjumlah sekitar 20-an orang. Aparat terpaksa mundur dan massa menyerbu ke arah aparat. Melihat kejadian itu, anggota intelijen coba membantu dengan mengeluarkan tembakan. Aksi masa semakin brutal dan mereka menghujam pukulan dan batu ke arah aparat yang terjatuh. Akibatnya 4 anggota aparat keamanan tewas.



Dari hasil pemeriksaan, Briptu Pol Arizona Horota (Brimob Polda Papua), tewas akibat tertusuk benda tajam pada rusuk kiri dan kening kanan; Briptu Pol Syamsudin (Brimob Polda Papua), tewas akibat kepala remuk terkena lemparan batu; Bharatu Daud Soeleman (Dalmas Polresta Jayapura), tewas akibat kepala remuk terkena lemparan batu; dan Serda Agus Supriyadi (Intelijen AURI) yang tewas diduga kuat dianiaya, karena disamping kiri dan kanannya ditemukan batu dan kayu.

Setelah melihat anggota tewas, Polisi melakukan penyisiran sampai malam hari, bahkan melakukan penyisiran ke rumah-rumah penduduk dan asrama mahasiswa di sekitar Abepura dan Waena.

Siapa saja warga sipil orang Papua yang ditemui di jalan langsung dipukuli dan diangkut ke Polresta Jayapura. Situasi menjadi amat tegang di daerah Abepura, Waena dan sekitarnya. Sampai malam hari jalan raya sepi karena warga sipil takut. Penyisiran itu dibantu 2 kompi TNI Yonif 751.

17 Maret, Sekitar pukul 08.00 WIT pagi, pasukan Brimob masih melakukan penyisiran dan penembakan membabi buta di sekitar kawasan Abepura dan Kampus Uncen. Aksi tembakan ke udara ini berlangsung sekitar 1 jam dan sempat membuat warga sekitar ketakutan, terutama anak-anak.

Akibat dari tembakan, 3 warga sipil terkena peluru nyasar yaitu Solehah (39) terkena peluru di paha kanan, Ratna Sari (12) terkena pada jari kaki kanan, dan Chatrin Ohee (9) terkena di bagian bahu kanan.

Selain itu tanpa komando, personil Brimob Papua melakukan sweeping terhadap setiap kendaraan yang melintas di jalan dekat Markas Brimobda Papua Kotaraja. Jumlah warga yang ditahan bertambah, dari 40 orang menjadi 73 orang. Sepuluh di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, yaitu: Elkana L (21) Patiasus (30), Ellyas T (21), Othen D (22), Luis G (26), Pemius W (21), Feri P (21), Selfius Bobi (26), Alex C.W (22), dan Ferdinandus P (22).

Tersangka Selpius Bobii dijerat pasal 160 KUHP, karena diduga telah melakukan penghasutan di depan umum dan diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun. Tersangka Alex C.W. dijerat dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951, karena diduga kuat tersangka membawa senjata tajam. Tersangka lainnya, akan dijerat pasal 170 KUHP jo Pasal 214 KUHP tentang tindak pidana pengeroyokan dan melawan petugas.

Pada saat kejadian bentrok, Seorang wartawan Tempo Cunding Levi dianiaya oleh aparat. Sekitar pukul 15.30 WIT, 4 wartawan Televisi yaitu Dewa (ANTV), Aryo (26) dan Goror (TV 7), Endi (32) (RCTI), dan Metro dianiaya oleh anggota Brimob di depan Markas Brimob Kotaraja. Beberapa anggota Brimob menghancurkan kamera dan alat-alat lainnya, memukul wajah dan tubuh keempat wartawan dengan popor senapan.

Aparat kepolisian dalam penyisiranya, penangkapan secara sewenang-wenang terhadap 40 warga sipil yang sekarang berada di Polresta Jayapura. Moses Yelipele (25) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan yang menetap di Abe Pantai dipukul oleh Brimob sehingga mengakibatkan luka pada wajah, mata, serta kepala mengalami luka sobek dan telinganya mengeluarkan darah.

18 Maret, Tim penyidik dari Polresta Jayapura dan Polda Papua telah menetapkan 14 tersangka dalam kasus 16 Maret 2006 antara lain: Selfius Bobi (25) Sekjen Front Pepera PB yang berstatus mahasiswa, Luis G. (27) Karyawan Toko Metro Jaya Abepura, Fery P. (22) Tukang parker, Fenius W. (22) mahasiswa, Alex C.W. (21) mahasiswa, Othen D. (25) swasta, Thomas U. (22) mahasiswa, Elkana L. (22) pelajar SMU, Ellyas T. (30) mahasiswa, Patrisius A. (30) swasta, Markus K. (47) pegawai, Moses L. (35) buruh bangunan, Musa A. (28) pegawai honorer, Jefri O.P. (21) pengangguran.

Dalam penyisiran yang dilakukan anggota Brimob pasca kasus “Uncen berdarah” 16 Maret 2006 ada beberapa asrama yang dirusak antara lain Asrama Nayak dan Asrama Ninmin. Kaca jendela, pintu, TV dan peralatan lainnya dirusak oleh Brimob.

20 Maret, Direktur Reskrim Polda Papua, AKBP Paulus Waterpauw mengatakan kepada Penasihat hukum bahwa dari hasil penyidikan ada 2 tersangka yang mengaku melakukan pengeroyokan terhadap Brimob dan Dalmas yaitu Feri Pakage (22) tukang parkir dan Luis Gedi (27) karyawan toko Metro Jaya.

Walaupun situasi dinyatakan aman dan menjamin keamanan mahasiswa, penyisiran terus dilakukan oleh anggota polisi. Pada 20 Maret, Sekitar pukul 16.00–17.00 WIT beberapa anggota Brimob melakukan penyisiran di Asrama Uncen Baru Perumnas III Waena. Mereka terdiri dari 3 orang berpakaian preman. Terdengar bunyi tembakan sebanyak 2 kali. Para penghuni asrama berlarian menyelamatkan diri ke gunung, tidak ada korban luka.

Dalam penyisiranya, warga sipil bernama Mathias Mihel Dimara yang berprofesi sebagai wiraswasta, ditangkap di rumahnya di belakang Rumah Sakit Marthen Indey, Kloofkamp Jayapura. Ia diduga kuat terlibat dalam aksi 16 Maret 2006. Selain itu. Kepolisian juga menangkap 2 tersangka yaitu Nelson R. (20) (preman) dan Besiur M. (22) (mahasiswa) yang diduga terlibat dalam bentrok di depan kampus Uncen Abepura.

Nelson ditangkap pada pukul 02.00 WIT (dini hari) di Lingkaran Abepura dan Besiur ditangkap di Tanah Hitam pukul 17.00 WIT. Dengan ditangkapnya Nelson dan Besiur, maka jumlah tersangka menjadi 17 orang.

Dari hasil pemeriksaan, Nelson diduga mengambil dua buah gas air mata yang dibawa Briptu Daud Soleman dan melemparkan batu ke korban. Sedangkan Besiur, diduga kuat telah mengumpulkan dana untuk kegiatan demo, mengumpulkan batu yang digunakan untuk melempar aparat dan mengumpulkan makanan untuk para demonstran.

27 Maret, Direskrim Polda Papua, AKBP Paulus Waterpauw mengatakan dari hasil pengembangan penyidikan pihak Kepolisian, DPO (Daftar Pencarian Orang) bertambah dari 12 orang menjadi 17 orang.

Dalam bentrok antara masa dan aparat pada tanggal 16 Maret 2006 tidak hanya menewaskan aparat tetapi juga menewaskan seorang warga sipil, yaitu Dany Hisage (22). Dany Hisage meninggal dunia setelah tertembak pada tanggal 17 Maret di Jl. Baru Kotaraja dalam penyisiran yang dilakuka apparat keamanan di rumahnya oleh orang yang tak dikenal dengan mengendarai sebuah motor bebek. Penembakan terjadi saat korban sedang merayakan wisudanya bersama rekan-rekannya. Peluru bersarang di punggungnya hingga tembus di perut bagian kanan.

Penembakan juga terjadi terhadap Seorang mahasiswa bernamana Asyo Richard Iek (27) di Buper Waena. Hasil pengujian proyektil di Puslabfor Bareskrim Mabes Polri, diperoleh keterangan bahwa proyektil yang bersarang di tubuh Asyo Iek adalah jenis kaliber 38 mm yang berasal dari jenis pistol Revolver merek Smith atau Wilson atau Pindad.

Ibu korban, Estevina mengatakan salah satu saksi kunci, yakni Erik Urior (ipar Arsyo) dikabarkan hilang. Ia dijemput oleh orang-orang yang tidak dikenal pada hari Rabu pukul 21.00 WIT saat sedang menjaga Arsyo di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena.

Dalam Release Front Perera (16/3/2013) menyebukan, seorang anggota polisi, Obeth Epa juga diahan di Rutan Polda Papua, dia ditahan karena melakukan penembakan salah sasaran terhadap seorang ibu (istri seorang anggora pololisi) pada saat Brimob dan dalmas bergerak menuju kearah masah pada saat membubarkan masa di sepan Uncen. (BY)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber untuk melawan lupa kasus 16 Maret “Uncen Berdarah
no image
*Dosa Pusaka Freeport pada Suku Amungme-Mimikawe dan Bangsa Papua* 

( _Bagian 1)_ 

Pada Januari 2024, Suku Amungme, Mimikawe dan Bangsa Papua memperingati 50 tahun Perjanjian Januari (Janauri Agreement) antara PT. Freeport dan 6 kepala Suku Amungme. Perjanjian ini sesungguhnya tragedi pencoplokan tanah hak ulayat suku Amungme dan Mimikawee.

 Penandatanganan naskah perjanjian disaksikan oleh pihak pemerintah Indonesia, wakil Pt. Freeport dan Wakil kepala Suku Amungme. Banyak pihak hingga saat ini tidak banyak yang mengetahui isi dan para pihak yang menandatanganinya. Naskah perjanjiannya dirahasiakan oleh Freeport seperti naskah kontrak karya I Freeport dan Pemerintah Indonesia pada April 1967 yang hingga saat ini masih misteri. Saya akan mengulas tentang isi dan pasca penandatanganan perjanjian Januari 1974.
Pada, 8 Januari 1974 di Tembagapura mulai dilakukan pertemuan antara Freeport, Pemerintah, dan Pemilik Nemangkawi, yang dikenal dengan pertemuan segitiga.

 Provinsi Irian Jaya, saat itu, mewakili pemerintah provinsi Irian Jaya, dan Tom Beanal, salah satu tokoh Amungme yang mewakili Pemilik Nemangkawi. Pertemuan ini melahirkan suatu perjanjian January Agreement, sebuah perjanjian yang menentukan alur sejarah bangsa Papua. Sayangnya, pernjanjian itu menyingkirkan masyarakat Amungme, pemilik tanah yang ditambang Freeport. 
Tom Beanal mengatakan pihak Amungme tak dilibatkan dalam penyusunan isi perjanjian yang termuat dalam January Agreement.

 Menurut Tom Beanal seluruh isi perjanjian seluruhnya sesuai kepentingan Freeport dengan mengabaikan kepentingan masyarakat Amungme. Perjanjian yang pernah kita buat, kata Tom Beanal, untuk tanah-tanah mulai dari Yelsegel-Ongopsegel (Ersberg), Utekini (Camp 74), Mulkandi (Tembagapura), sepanjang jalan Camp 74 hingga Camp 2. Di luar jalan ini tidak dimasukan perjanjian, seperti di luar kota Tembagapura, di luar pagar kawat kota Tembagapura, dan di luar pabrik tambang di Camp 74.

Namun kenyataanya sekarang, perusahaan telah menyerobot tanah-tanah di luar batas perjanjian January Agreement, seperti di Kota Tembagapura yang memakan lahan antara 10-20 hektare, lalu pembukaan lahan di Camp 50 dan Camp 39, pengambilan lahan di Kwamki Lama untuk pemukiman karyawan PT. Freeport serta lahan kali kopi, pengambilan lahan gapura Selamat Datang. Freeport juga sudah melakukan eksplorasi tambang di lembah Arowanop. Menurut masyarakat tindakan merampok tanah ini tidak memiliki dasar hukum tetapi Freeport terus bertindak sesuka hati.

Dalam berbagai tulisan menjelaskan bahwa January Agreement 1974 lahir karena tuntutan masyarakat setempat terhadap kompensasi pengunaan lahan yang digunakan oleh Freeport Indonesia. Apakah benar isi dan manfaat kompensasi yang tertuang dalam January Agreement sesuai harapan masyarakat setempat? Apakah nilai kompensasi yang dibicarakan bernilai sama besarnya dengan hasil penambangan Freeport?
Bagian ini coba melihat dengan rasional soal hak dan kewajiban dari sumber daya yang dimiliki kedua belah pihak, Freeport Indonesia dan Pemilik Nemangkawi. Ulasan berikut ini akan menggambarkan kepada semua pihak untuk menilai dan mengukur tingkat rasionalitas hak dan kewajiban Freeport bagi Pemilik Nemangkawi dalam January Agreement pasal demi pasal.

*Pasal 1* 
Masing-masing pihak telah memahami sepenuhnya akan bak dan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, meskipun pelaksanaannya akan mengalami proses yang memakan waktu.
Bagian ini lebih menekankan tentang hak dan kewajiban pihak Freeport dan Amungme.

Penjabaran hak dan kewajiban dalam konteks sebagai pemilik perusahan dan pemilik lahan tidak dijelaskan secara eksplisit. Apa haknya Freeport atas tanah dan apa sesungguhnya kewajiban Freeport atas tanah Amungme. Perlu dipahami kata “memahami” dalam pembuka pasal pertama dialamatkan kepada pihak pemilik lahan sementara yang hadir dan menandatangani kesepakatan itu adalah para tetua Suku Amungme yang sama sekali tidak mengerti dan paham dengan setiap redaksi tulisan dalam perjanjian ini. Di sinilah terjadinya proses pembodohan bagi suku Amungme yang mulai dilakukan Freeport.

 *Pasal 2* 
Pihak Freeport Indonesia Inc. bersama Team telah berusaha mengumpulkan dan menampung kehendak dan keinginan masyarakat setempat dalam usaha memajukan masyarakat dan daerah sekitar Freeport Indonesia Inc.

Pada bagian pasal ke-dua menitikberatkan kepada keinginan masyarakat setempat. Kata kunci pada bagian ini adalah "memajukan." Apakah implementasi dari pasal ini terhadap penduduk yang tinggal di lembah Waa, Banti, dan sekitarnya? Freeport justru membangun perumahan elit dan kota baru di Kuala Kencana, sementara masyarakat di lembah Waa dan sekitarnya, hidup dalam gubuk-gubuk hasil bangunan sendiri.

Pendidikan, yang merupakan hak dasar bagi masyarakat pemilik Nemangkawi juga terabaikan. Freeport lebih memprioritaskan pembangunan sekolah di Kuala Kencana dan Tembagapura, kota yang menopang kehidupan para karyawan dan tenaga kerja Freeport.
Akses air bagi penduduk lembah Banti sangat miris. Penduduk Suku Amungme harus keluar rumah berjalan kaki menuju waduk air. Kondisi ini berbalik dengan daerah Kuala Kencana, dimana orang-orang dengan mudah menikmati air di rumah, bahkan tinggal menekan tombol air bersih tersedia di kamar mandi.

 *Pasal 3* 

Pihak Freeport Indonesia Inc. berkesanggupan dalam waktu yang akan dan sudah ditentukan sesuai dengan rencana yang disepakati bersama untuk:

a. Membangun gedung-gedung sekolah termasuk perumahan guru.

b. Membangun poliklinik dan perumahan perawat.

c. Membuat bangunan pasar termasuk pertokoannya.

d. Membangun beberapa rumah model penduduk yang layak dan membangun pembangunan perumahan selanjutnya.

e. Memberikan dan meningkatkan fasilitas dan kesempatan kerja bagi penduduk setempat sesuai dengan perkembangan perusahaan.

f. Memberikan fasilitas yang diperlukan untuk pos pemerintah, yaitu kantor dan rumah.

Pasal ketiga ini merupakan turunan penterjemahan dari pasal dua tentang kata "memajukan". Kita bisa lihat implementasi pasal tersebut di lapangan.

Gedung sekolah dan perumahan guru di Banti, Tsinga, Arwanop yang dibangun Freeport tak menggambarkan upaya Freeport memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas bagi masyarakat setempat. Kualitas sekolah dan perumahan di Banti, Tsinga, dan Arwanop kurang baik, tampak bahan tripleks yang menjadi material bangunan.

Poin lain dari pasal 3 memuat tentang pasar dan pertokoan. Freeport membangun pasar dan pertokoan, namun di Banti penduduk setempat masih berjualan dengan menggelar barang dagangannya di tanah.

Para penjual setempat duduk di sepanjang jalan sebelah toko PNU sampai jalan masuk Gedung SD Inpres Banti. Toko PNU baru dibangun sekitar tahun 2000-an atas prakarsa SLD dan para tokoh Amungme. Sehingga isi dari pasal 3 berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Apakah ini yang dimaksudkan oleh Freeport yang menarun komitmen terhadap pemilik Nemangkawi?

 *Pasal 4* 

Apa yang tersebut dalam pasal 3 diatas perlu disesuaikan dengan dan dalam rangka pembangunan masyarakat pedalaman yang berhubungan dengan program Pemerintah Daerah.
Pasal 4, masih berkaitan erat dengan pasal 3, yaitu soal pembangunan. Kata kuncinya pembangunan masyarakat pedalaman, yang oleh Freeport diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah.

Sementara pada 1970-an, orang Amungme sangat jauh dari sentuhan pemerintah daerah. Orang Amungme tak mengenal pemerintah daerah sebagai mihak pembawa perubahan. Orang Amungme hanya punya atan moril dengan Freeport sebagai pengguna tanah ulayat agi kepentingan penambangan. Celakanya, setelah merampas anah hak ulayat Amungme, Freeport mengalihkkan semua tanggung jawab kepada pemerintah daerah.

Nasib orang Amungme digantungkan kembali dalam kebijakan yang bebas tanpa tanggungjawab yang pasti dari institusi yang sesungguhnya bertanggung jawab. Freeportlah yang harus dan wajib bertanggung jawab bukan melempar tanggung jawab kepada pihak ketiga. Masalah Nemangkawi dan Freeport adalah masalah kedua bela pihak selaku pemilik lahan (land owners) dan pemilik perusahaan (company owners).

 *Pasal 5* 

Masyarakat setempat telah bersedia dan memperbolehkan dilanjutkannya panambangan di Ertsberg, Tenggoma (Tsinga) dan tempat-tempat lai termasuk Tembagapura dan sekitarnya yang semua itu dilandasi dan tidak bertentangan dengan ketentuan umum dalam perjanjian Freeport Indonesia Inc. dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.

Isi pasal 5 ini kontradiktif dengan fakta dari peta wilayah proyek Freeport. Dalam peta tersebut dengan jelas daerah Tsinga, Niponogong, Nosolandop, Arwanop dan Opitawak yang letaknya di atas kampung Banti tidak masuk dalam peta proyek yang dibuat oleh Freeport sendiri. Sementara dalam pasal 5 dengan mudah Freeport menyatakan "masyarakat setempat telah bersedia dan memperbolehkan dilanjutkannya penambangan di Tenggoma (Tsinga)”.

Dalam pasal ini pun dengan mudah Freeport menyatakan “dan tempat-tempat lain Tembagapura dan sekitarnya”. Freeport tidak menjelaskan dengan detail yang maksud dengan tempat-tempat lain Tembagapura. Seakan Freeport beranggapan tempat lain yang dimaksud tidak bernama dan bertuan. Seakan wilayah sekitar Tembagapura tidak di huni oleh penduduk Amungme. Pasal 5 dengan jelas Freeport' melakukan pembodohan dan pembohongan terhadap penduduk Amungme.

Kata "bersedia dan memperbolehkan" yang sesungguhnya tidak mengandung makna setuju. Kata "bersedia" tidak dimaknai sebagai kata "setuju", dan kata "diperbolehkan" tidak bermakna sebagai kata “diperuntukan”.

 Permainan redaksi dalam pasal 5 ini merupakan bagian dari pembodohan hukum yang mendangkalkan inti sari dari sebuah produk perjanjian yang menggunakan bahasa Indonesia. Ini bagian dari skema perampasan tanah ulayat suku Amungme.

 *Pasal 6* 

Hal-hal yang menyangkut keamanan dan ketertiban di wilayah Freeport sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pos Polisi Republik Indonesia di Tembagapura terutama daerah- daerah tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh Penduduk setempat.

Bagian penting dari pasal 6 ini adalah pernyataan "tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh masyarakat setempat." Artinya, Freeport berniat membatasi ruang gerak orang-orang Amungme, yang notabene wilayah itu dilewati oleh orang Amungme ketika berpergian keluarmasuk lemba Waa dan Banti. Orang Amungme dari Banti lazimnya berpergian ke Tsinga dan Nosolandop harus melewati Tembagapura dan selanjutnya menyusuri belantara Nemangkawi. Demikian halnya dahulu ketika berpergian berburu sampai di Mile 50 dekat perbatasan rendah Mimika. Setidaknya memang jika dilarang maka harus Freeport membangun jalan darat tersendiri untuk orang Amungme yang melintas dari Tembagapura hingga Mimika. Freeport dengan terang-terangan mengisolasi orang Amungme di atas tanah ulayatnya.

 *Pasal 7* 

Ketentuan-ketentuan yang merupakan materi perjanjian ini dipandang sebagai langkah pertama dalam rangka penyelesaian persoalan yang timbul antara Freeport Indonesia Inc. dengan masyarakat. Langkah berikutnya akan dilanjutkan pembicaraan langsung antara Pimpinan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Jaya dengan Pimpinan Freeport Indonesia Inc.
Uraian pasal 7 ini menyatakan bahwa "perjanjian ini merupakan perjanjian awal serta masalah sengketa tanah ulayat kembali dilimpahkan kepada pemerintah Propinsi Irian jaya". 

Memang benar bahwa Nemangkawi dicuri tanpa persetujuan orang Amungme selaku pemilik sulung gunung Nemangkawi pada saat Kontrak Karya pertama ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Amerika, tanpa melibatkan orang Amungme sebagai pemilik tanah ulayat Nemangkawi.

 *Pasal 8* 

Perjanjian ini disertai lampiran-lampiran yang dipandang sebagai rangkaian Naskah Perjanjian yang tidak dipisahpisahkan.

 *Pasal 9* 
Perjanjian ini berlaku sejak tanggal ditandatangani pihakpihak yang berkepentingan.Apa tujuan utama dari perjanjian January Agreement ini? Perjanjian itu bagian upaya Freeport menyelamatkan diri dari tuntutan hukum internasional terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport kepada orang-orang Amungme. Freeport, melalui perjanjian ini, berhasil memaksa orang-orang
Amungme untuk memberikan izin atas pemanfaatan tanah untuk operasi penambangan. Dengan surat perjanjian ini, Freeport menunjukkan orang Amungme menyetujui operasi tambang dilakukan, padahal orang Amungme merasakan penderitaan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport dengan dukungan Pemerintah RI dan militer.

Mulai dari penggantar dan uraian dari isi perjanjian January Agreement tahun 1974, pasal 1 sampai dengan pasal 9, sama sekali Freeport dan Pemerintah Indonesia tidak menjabarkan subjek dari arti masyarakat yang dimaksud. Semestinya dinyatakan dengan jelas bahwa masyarakat yang dimaksud adalah Suku Amungme, pemilik tanah. Artinya Freeport dan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Gunung Nemangkawi yang sedang ditambang merupakan wilayah tanpa penghuni, padahal di sana orang-orang Amungme menjadi penduduk asli yang tinggal dan hidup di wilayah Nemangkawi.
Siapa saja yang turut menandatangani perjanjian January Agreement? 

Berikut daftar penandatangan January Agreement:

 *Pihak PT. Freeport* 

R.L.West ( Vice President/ Freeport General Manager)

*Pihak Pemilik Tanah Amungme* 

Pihak Amungme ditandatangani oleh 6 orang kepala suku dan dalam nskah tidak tandatnagi tetapi mereka semua Cap Jempol.

1. Tuarek Narkime (Kepala Suku)

2. Naimun Narkime (Kepala Suku)

3. Arek Beanal (Kepala Suku)

4. Pitaragome Beanal (Kepala Suku)

5. Paulus Magali (Kepala Suku)

6. Kawal Beanal (Kepala Suku)

*Para Saksi Unsur Pemerintah* 

1. A.W.Darwis, S.H. (Kepala Direktorat khusus Pemerintah Khusus Propinsi Irian Jaya/Ketua Tim Pemerintah)

2. Suratman, (Letkol Polisi As.5/ Binmas Komdak XXI/Irian Jaya)

3. Mampioper, ( Wakil Kepala Direktorat Ketertiban Umum Propinsi Irian Jaya)

4. Drs. S.Wanma, (Kepala Sub Direktorat I/Tata Praja Dit. Pemprop Irian Jaya)

5. Iz. Manufandu, (BA Camat Mimika Barat)

6. Costan Anggaibak, (Mahasiswa APDN Jayapura)

7. Tom Beanal, (Anggota DPRD Pemerintah Tk.II Kabupaten Fak-Fak)

8. Yos P.N. Renwarin, (Staf Kantor kecamatan Mimika Barat)

*Para Saksi Unsur Freeport* 
1. T.L. Vandegrift 
2. H.H. Butt 
3. J. Harsono
4. I.R. Rorimpandey 

*Para Saksi Unsur Amungme* 

1. Kagalwagol Beanal (Kelapa Suku Amungme)

2. Arek Beanal (Kelapa Suku Amungme)

3. Namumora Jamang (Kelapa Suku Amungme)

4. Tuarek Narkime (Kelapa Suku Amungme)

5. Tetdai Omaleng (Kelapa Suku Amungme)

6. Naimun Narkime (Kelapa Suku Amungme)

7. Pitarogome Beanal (Kelapa Suku Amungme)

8. Emolegabi Bugaleng (Kelapa Suku Amungme)

9. Nenembale Janampa (Kelapa Suku Amungme)

10. Nigaki Narkime (Kelapa Suku Amungme)

Dalam salinan asli memperlihatkan bahwa para saksi hanya hadir pada tanggal 6 dan 7 Januari tahun 1974, sementara penandatanganan perjanjian January Agreement tercantum pada 8 Januari tahun 1974 yang ditandatangani pihak pertama Freeport dan pihak kedua Amungme. Sementara isi dari lampiran III tentang penjelasan pasal 4 naskah perjanjian ditandatangani pada 9 Januari tahun 1974.
Lebih aneh lagi isi lampiran IV tentang penjelasan sebagai realisasi pasal 5 dan 6 naskah perjanjian keluar pada 11 Januari 1974 di Tembagapura. 

Setelah naskah perjanjian January Agreement ditandatangani, Freeport menekan kembali dengan larangan. Naskah January Agreement ibarat surat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan Lampiran IV sama dengan surat pernyataan tidak berbuat lagi tindakan kriminal atau sejenisnya. Lebih aneh lagi pada bagian lampiran IV dari naskah perjanjian hanya di cap jempol oleh pemilik gunung Nemangkawi, suku Amungme.

Masyarakat Amungme sesungguhnya memiliki kemampuan menghidupi dirinya sendiri dengan dukungan sumber daya alamnya. Tetapi, orang-orang Amungme tak bisa berbuat banyak ketika sumber daya alam dikuasai oleh Freeport, begitu juga Pemerintah Indonesia yang mengeruk hasil tambang ke pusat. Orang-orang Amungme menjadi korban kerakusan dan ketamakan penguasa Freeport dan Pemerintah.
Sesungguhnya alam mestinya menjadi berkah bagi manusia, seperti orang-orang Amungme yang tinggal di atasnya, juga seluruh bangsa Papua, namun puluhan tahun Freeport beroperasi tak memberikan kesejahteraan dan kebaikan bagi kehidupan bangsa Papua. Bahkan, orang-orang Amungme terus menjadi korban penderitaan atas Freeport dan Pemerintah yang mengeksploitas kekayaan alam Papua.
Seorang tokoh Amungme yang pernah bertemu petinggi Freeport, almarhum Tuarek Narkime mengatakan, “Ado anakanak buah pandang yang di depan itorei (sebutan rumah adat laki-laki bagi suku Amungme) ini, saya jaga sejak belum berbuah. Setelah puluhan tahun buah pandan ini berbuah dan saat buahnya tua dan musim panen, saya selalu jaga di bawah pohon buah pandan ini namun, tidak pernah buah yang tua jatuh dibawah tanah dekat pohon pandan, saya tidak tahu kenapa dan sungguh aneh, karena itu, anak-anak mungkin. buah pandan yang tua ini buahnya jauh keatas ka?"
Ungkapan almarhum Bapak Tuarek Narkime menjadi cerita yang nyata hari ini dialami oleh Suku Amungme sebagai pemilik sulung Nemangkawi. 

Memang benar bahwa pada akhirnya semua hasil emas, tembaga, perak, uranium dan kapur dari tanah Amungsa dan hasilnya pun tidak pernah diketahui dengan pasti oleh suku Amungme terutama marga besar Magal dan Nartkime. Tuarek Narkime memberikan gambaran masa depan generasi Amungme di atas hasil kekayaannya di tanah leluhurnya sendiri. Tepat bahwa, Amungme hanya mendapat hujan air mata darah bercampur debu batuan berlimbah di atas tanah emasnya namun hujan emas, perak, tembaga, uranium dan kapur terjadi di negeri asing/negeri orang. 

Selamat memperingati tragedy kejahatan pencaplokan hak ulayat suku Amungme-Mimike Bangsa Papua. 
_Bersambung_ 

Markus Haluk
Sekretaris Eksekutif ULMWP

Penulis Buku 
1. Menggugat Freeport Jalan Penyelesain Konflik Papua (2015)
2. Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Ekologi Freeport dan Pelanggaran HAM Degeuwo Paniai (2023)