Di bawah sinar mentari yang jarang tembus, ibu itu menggenggam erat tangan anaknya, memimpin mereka melalui jalan setapak yang berliku di rimba raya. Mereka harus berjalan dalam keheningan, memadamkan nafas mereka untuk menghindari pendengaran prajurit penjajah yang terus mengintai.
Terkadang, dalam kesendirian malam, suara tangisan bayi yang lapar dan rintihan yang penuh kelelahan memenuhi hutan itu. Ibunda yang penuh cinta melumuri wajah anak-anaknya dengan air mata yang hangat, berusaha menenangkan mereka dengan senyuman yang rapuh. Meskipun perut mereka terasa kosong, mereka masih memiliki api keberanian yang berkobar dalam diri mereka.
Di dalam rimba yang liar, ibu itu mengajar anak-anaknya tentang warisan mereka, tentang hak mereka atas tanah yang dulu menjadi tempat mereka bermain dan tumbuh bersama. Ibu menceritakan tentang keberanian leluhur mereka yang melawan penjajah, menekankan pentingnya kemerdekaan bangsanya. Mereka tetap setia berjuang, melewati sungai-sungai deras dan gunung-gunung yang curam, dengan harapan yang terukir dalam hati mereka.
Di malam-malam dingin, ketika keheningan tergantung di antara daun-daun lebat, ibu itu berdoa dengan penuh harapan, memohon perlindungan untuk anak-anaknya. Ia tak pernah lelah menguatkan hati mereka, mengingatkan mereka akan tujuan mulia yang mereka perjuangkan, menanamkan keyakinan bahwa kebebasan adalah hak mereka yang tak bisa dirampas.
Suatu ketika, dalam kelamnya hutan, di tengah gemuruh hati yang tak menentu, ibu itu menggenggam erat tangan anaknya yang kecil. Dia menatap matanya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan anaknya yang gemetar. "Diamlah, anakku," bisiknya lembut. "Musuh mendekat, kita harus bersembunyi. Jangan menangis, tetaplah berani."
Anak itu menatap ibunya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran, tetapi ia mencoba menahan tangisnya. Dia tahu bahwa tangisan itu bisa mengkhianati mereka, mengundang bahaya yang mengintai di sekitar mereka. Dalam keheningan yang mencekam, mereka berdua menempuh upaya terakhir untuk bersembunyi di balik pepohonan yang rimbun.
Waktu berjalan dengan perlahan, ditandai oleh desir angin yang mengelus dedaunan dan suara langkah kaki prajurit penjajah yang semakin dekat. Hati sang ibu berdebar kencang di dada, namun ia mencoba menunjukkan keberanian dan ketenangan yang terusir oleh rasa takut. Dia berbisik kepada anaknya, "Jika ibu harus pergi, ingatlah, anakku, kau harus menjadi saksi. Ceritakan kepada dunia penderitaan kami, kekejaman yang terjadi di tanah kita. Jangan biarkan mereka melupakan kita."
Tangis anak itu hampir meledak di dalam dadanya, tetapi ia menahan dengan gigih. Dia tahu bahwa ibunya mengajarinya untuk menjadi kuat dan gigih, untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan meskipun dalam penderitaan terdalam. Dia mengangguk pelan, menunjukkan tekadnya untuk melanjutkan perjuangan ibunya jika saat itu tiba.
Suara langkah kaki semakin dekat, dan dalam sekejap, prajurit penjajah muncul di antara rimbunan pohon. Ibu itu menutupi mulut anaknya dengan tangannya, memastikan bahwa tidak ada suara yang terlontar. Ia memandang mata anaknya dengan penuh cinta dan kesedihan, lalu memberikan isyarat untuk tetap bersembunyi.
Walaupun teror dan kegelapan menyelimuti hatinya, sang ibu tetap menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia menyerahkan hidupnya sebagai tanda perlawanan terakhir, untuk memastikan bahwa anaknya akan hidup sebagai saksi atas kekejaman penjajah. Dalam ketegangan yang melanda, prajurit penjajah itu menghampiri mereka dengan seraut wajah penuh keangkuhan.
Namun, di dalam hati sang anak, nyala api perlawanan berkobar. Ia menyimpan dalam dirinya janji untuk ibunya, untuk menjadi suara yang tak akan padam, untuk meneruskan perjuangan dan mengungkapkan kebenaran kepada dunia. Ia tahu bahwa tangisan tak akan memadai untuk menggambarkan kekejaman yang terjadi. Ia harus menjadi saksi hidup yang melawan lupa.
Ia bertekat meneruskan perjuangan ibunya, menyuarakan kebenaran yang terpendam dan memperjuangkan kemerdekaan yang masih belum mereka raih. Dalam hatinya terukir janji suci, bahwa takkan ada lagi warga yang terlupakan di hutan, bahwa pengorbanan sang ibu tidak akan sia-sia.
***
Lambat laun anak ini tumbuh dewasa di tengah kota. Dia menyaksikan bahwa di tengah hiruk pikuk dan gemerlapnya kehidupan di kota, seringkali terlupakan bahwa di dalam hutan yang sunyi itu, ada warga pengungsi yang terluka, yang berjuang dengan segala daya dan upaya untuk meraih kemerdekaan yang mereka impikan. Mereka menghadapi kesulitan dan penderitaan, sementara penjajah menikmati kesenangan semu yang diperoleh dari eksploitasi dan penindasan.
Dia masih berdiri kaku. Melintasi setiap keramaian kota. Bingung, kepada siapa segala derita harus diungkap. Hanya tembok-tembok bisu yang memandanginya dengan penuh amarah. Ia menyimpan sakit dan memilih diam karena bersuara hanya mengganggu kesenangan semu warga terjajah.
Sesekali berteriak dari ketinggian bukit di pinggir kota. Tengadahlah, wahai kota yang sibuk! Dengarkanlah suara terhina yang terdengar samar dari dalam rimba raya. Adakah kamu merasa puas dengan kesenangan palsu yang kamu raih diatas penderitaan bangsamu? Adakah kamu tidak melihat bahwa di balik gemerlap kota, ada warga saudaramu yang berjuang dalam ketidakpastian dan ketakutan?
Wahai kota yang terlena, jangan biarkan dirimu terbelenggu oleh keserakahan dan kepentingan diri sendiri. Lihatlah dengan hati yang peka, dengarkanlah cerita penderitaan dan pengorbanan mereka yang masih terus bertahan di dalam hutan yang rindang. Mereka bukan sekadar bayangan yang terlupakan di antara kehidupan glamormu.
Sementara kau menikmati kenyamanan dan kebebasan palsu yang diperoleh dari penjajah, mereka terjebak dalam ketidakpastian dan bahaya setiap harinya. Mereka kehilangan tempat yang mereka panggil rumah, keluarga yang terpisah, dan mimpi-mimpi yang hampir mati. Apakah kamu bisa melihat luka-luka yang mereka bawa di tubuh dan jiwa mereka?
Wahai kota yang tenggelam dalam kesia-siaan, adalah saatnya untuk terjaga dari tidurmu yang nyaman. Perhatikanlah nasib saudara-saudaramu yang terjajah di hutan. Jadilah suara yang menggema dalam kesunyian, jangan biarkan penderitaan mereka tenggelam dalam kebisingan dunia yang serba cepat ini.
Bersatu dan berdirilah bersama mereka, membawa keadilan dan kebebasan yang mereka perjuangkan. Jangan biarkan hiruk pikuk kota membutakanmu, tetapi biarkanlah belas kasihan dan empati menjadi pemandu langkahmu. Bersama, mari kita berjuang untuk menghancurkan penjajah dan membangun dunia yang adil dan merdeka.
Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa kehidupan yang bermakna bukan hanya tentang kesenangan dan keuntungan pribadi. Kita memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka yang paling terpinggirkan, yang berjuang demi hak-hak asasi mereka. Hentikan kebodohan dan keegoisan, dan bersatu dalam solidaritas dengan warga pengungsi yang berjuang di dalam hutan, membangun jembatan menuju kemerdekaan.
Diamlah anakku, Musuh Mendekat!
Post:(kenangkan Sa)