Di tulisan: Made Supriatma
Salah kelamin, salah kostum: Selama sepuluh tahun terakhir, publik Indonesia benar-benar dikenyangkan oleh apa yang oleh Michael Billig disebut sebagai "nasionalisme dangkal" atau banal nationalism.
Nasionalisme macam begini kerap hadir dalam acara-acara negara. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari istana, kendaraan, bendera, umbul-umbul, bahasa, hingga ke pakaian.
Semua itu menyimbolkan negara. Kehidupan sehari-hari diingat-ingatkan bahwa ada negara. Dan negara pun berusaha membentuk identitas.
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk. Sayangnya, seperti sebagian besar penduduk negeri ini, yang sebagian besar menderita buta huruf fungsional (functionally illiterate), para elit negara ini pun sebenarnya tidak tahu persis kebudayaannya sendiri.
Buta huruf fungsional adalah mereka yang bisa membaca tetapi tidak paham maknanya. Dan, gedibal-gedibal para elit ini pun sami mawon. Mereka tidak mengerti bangsanya sendiri namun merasa berhak menentukan bahwa ini identitas suku A, ini identitas suku B, suku C, dan seterusnya ... seraya mengklaim bahwa inilah Indonesia!
Yang menyedihkan dari semua ini adalah keberagaman ini kemudian dirampas menjadi kesatuan. Anda mungkin tidak peduli dengan konsekuensinya.
Sangat serius. Sungguh sangat serius. Pakaian-pakaian adat diseremonikan, namun masyarakat adat pemiliknya dipinggirkan. Tanah-tanah mereka dirampas karena dibawahnya ada mineral. Jika tidak, tanah-tanah mereka dijadikan perkebunan-perkebunan.
Ribuan alat berat datang ke Merauke untuk mencetak satu juta hektar sawah. Apakah tanah-tanah itu tidak bertuan? Dalam mata negara, itu semua punya negara. Dan, negara pula yang berhak memberikannya kepada siapa saja.
Sama seperti pakaian adat Papua ini. Pakaiannya dipakai untuk acara resmi kenegaraan. Namun manusianya? Saya kira, dalam nasionalisme dangkal si anak yang memakai pakaian ini, dialah orang Papua.
Dia bahkan tidak mau susah payah bertanya mencari tahu, apa itu Papua? Apa pakaian yang biasa dikenakan oleh orang Papua? Saya kira, yang dia lihat hanya brosur-brosur turis.
Dan terjadilah hal yang aneh ini.
Kita mungkin bisa tertawa sejenak. Namun, perlu juga diingat bahwa puluhan anak-anak muda Papua ditangkap hanya karena ingin mengingat New York Agreement 1962. Jutaan hektar tanah-tanah mereka dirampas, kekayaan alam mereka dikeruk, sementara mereka mati kelaparan dan sakit di atas kekayaan tanah mereka.