Articles by "penginjilan"
Showing posts with label penginjilan. Show all posts

Eveerth Joumilena

Minggu, 5 Februari 2023 | 08:48 WIB

Geisiser dan Ottow dari (Berlin-Nederland) (Berbagai Sumber Beredar)


Perjalanan Ottow dan Geissler dari (Berlin-Nederland) 

Pada tanggal 25 April 1852, Geissier dan salah seorang rekan yang disiapkan Giosner, S neider berangkat ke Hrsmen bersama dengan Pdt. O.G.Heldring dan disana mereka tinggal dua bulan. Pdt. O.G. Heldring adalah seorang penggerak dibidang Missi Zending ke daerah-daerah bangsa kafir. Kemudian mereka bertemu pula dengan seorang rekan Missionaris C.W. Ottouw yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh O.G. Heldring.

Dengan Nama Tuhan, kami menginjak tanah ini, Selamat Merayakan Pekabaran Injil ke-168 di Tanah Papua, di Pulau Mansinam.

Dengan Nama Tuhan, kami menginjak tanah ini, Selamat Merayakan Pekabaran Injil ke-168 di Tanah Papua, di Pulau Mansinam. (Foto Facebook Tania Nia Djodjaga)

Dan pada malam tanggal 26 Juni 1852 telah diutus menumpangi kapal, ABEL TASMAN dan berangkat ke Rotterdam dan menuju Batavia. Tetapi sebelum mereka naik Kapal Abel Tasman, meraka bersama-sama berdoa dan menyerahkan diri mereka dengan sukacita kedalam pemeliharaan kuasa tangan Tuhan.

Pada tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba dengan selamat-aman di tanah Batavia. Di Batavia (tanah Jawa) C.W. Ottow dan J.G. Geissler yang akan meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dan kerinduan mereka harus bersabar selama satu setengah tahun. Dan kesabaran, kesetiaan mereka disini diuji oleh Tuhan. Disamping itu perlahan mereka menyesuaikan diri dengan iklim negeri tropik.

Karenanya J.G. Geissler membuka dan memimpin suatu sekolah rakyat di Pusat Missi Belanda bagi penduduk pribumi di Batavia.

Pada bulan April 1854 terbuka jalan Tuhan suatu kemungkinan untuk menggapai Tanah kerinduan mereka yaitu Papua. Di Batavia ada seorang saudagar muda namanya "Ring" pemimpin dan pendiri Perhimpunan Missi memberi informasi bahwa Pulau kecil Mansinam yang dekat dengan daratan Manokwari penduduknya ramah, terbuka (namun disini sebenarnya kala itu Tanah Papua penduduknya hidup tertutup, dianggap buas dan menolak orang asing).

Penduduk dari daratan dore-Mnukwar mengakui Sultan dari Tidore yang dibawah kekuasaan Pemerintah Belanda rupanya tidak keberatan bila Missionaris Kristen datang ke Mansinam Papua. Begitu surat jalan dari Pemerintah Balanda yang sampai ke Ternate, Ottow dan Geissler sangat bersukacita atas berita keberangkatan ke Papua.

Geisler menulis dalam suratnya kepada Gossner sebagai berikut "Terpujilah Tuhan, sehingga waktunya telah tiba yang telah lama kami menantikan". Kami akan berangkat kesuatu tempat dimana belum ada seorang Massionaris datangi dan tinggal karenanya kami tidak dapat mengharapkan perlindungan dari Dia yang telah bersabda : Aku akan menyertai kamu sampai kepada akhir zaman (Matius, 28 : 20) Perpisahan dan mereka meninggalkan Batavia pada tanggal 9 Mei 1854.

Dan akhirnya 30 mei 1854 mereka tiba di Ternate dan diterima dengan sangat ramah oleh Pdt.J.E.Hoveker dan isteri (yang sejak 1833 sebagaiPdtJemaat Protestan yang kecil disitu). Serta tinggal bersama dirumahnya. Disana mereka belajar dan memperdalam bahasa melayu serta belajar mengkaji berbagai informasi tentangsikon Papua. Dan harus bersabar menunggu selamasetengah tahun.

Sesudah itu Residen Balanda C.Bosscher dari Ternate diharapkan dapat menolong untuk perjalanan ke Papua. Rekan-rekan Missionaris di Batavia mengirimkan 200 Gulden kepada mereka. Seorang guru Wehker dari Ternate yang sangat kagum merelakan putranya yang bernamaFrits berusia 12 tahun untuk menjadi pelayan bagi mereka. Mereka diperbolehkan membawa barang-barang sebanyak yang mereka butuhkan. Perjalanan itu mereka dibekali beberapa ekor sapi, ayam, bebek, dan angsa.

Merka kemudian menerima surat jalan dari Sultan Tidore yang dogmanya Islam. Disaat residen Belanda menjelaskan kepada Sultan bahwa Ottow dan Geissler mereka adalah Peneliti Alam.

Tetapi Sultan yang sudah lama mengetahui identitas mereka, berkata "ah mereka kan missionaries pekabaran Injil" jangan merubah status mereka, biarkan mereka menyebarkan ke Kristenan mereka. Maka Sultan memberikan surat Ijinbagi mereka bahkan memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.


TIBA DI TANAH PAPUA JANUARI 1855

Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah mereka dari Dermaga Ternate, menumpang Kapal (...) Ternate menuju Pulau tujuan mereka Mansinam. Dan ketika menunggu pelayaran selama 25 hari pada tanggal 5 Februari 1855 Kapal Ternate membuang sauhnya di depan pulau Manansbari (Mansinam) Dalam agenda Harian Geislee, menulis kepada Gossner demikian : Anda tidak dapat membayangkan betapa besarnya rasa sukacita kami pada saat akhirnya dapat melihat tanah tujuan kami, Minggu pagi Zending sauh dibuang untuk berlabuh di teluk Doreri.

Matahari terbit dengan indahnya, ya semoga matahari yang sebenarnya, yaitu Rahmat Tuhan yang menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu yang telah sekian lamanya merana didalam kegelapan semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat GembalaanNya yang lembut. (Sekoci pertama yang menuju daratan membawa kedua orang penginjil itu kedaratan Mansinam pada pagi hari).

Sebagaimana tindakan terakhir mereka lakukan saat berangkat dari Eropa, berdoa, maka masuk kedalam semak-semak berlutut dan mencurahkan isi hati mereka ("Dalam Nama Allah kami menginjak kaki di Tanah ini") Mereka memohon kepada Tuhan Allah untuk memperoleh kekuatan, hikmat dan terang, agar dapat mamulai Missi Pekabaran Injil dengan baik. Tentang reaksi dan respond (penerimaan) penduduk pulau Manamsbari kurang disentil (F.C. Kamma, ajaib di mata kita, Jakarta BPK 1981 hal 87) Namun tentunya pendaratan dan kehadiran serta gerakan-gerakan mereka sebagai orang asing tak dilewatkan, terutama ketika kedua Mssionaris itu masuk kedalam semak-semak berlutut dan menyerahkan isi hati berdoa kepada Tuhan.


GAMBARAN UMUM PADA WAKTU ITU

New Guinea ditemukan oleh orang Portugis yang bernama Meneses pada tahun 1526, sedangkan namanya oleh seorang Spanyol yang bernama Alvarado pada tahun 1528 (jadi 300 tahun kemudian) orang Belanda berupaya untuk membuat tempat pemukiman di Kolobai di Pantai barat yang diberi nama DUBUS bagian selatan Papua daerah Fakfak sesuai dengan nama komisaris Nederland Hindia namun pada tahun 1836 mereka menghentikan usaha mereka karena dianggap terlalu mahal dan sia-sia.

Pada tahun 1847 ada beberapa Missionaris Khatolik yang bermukim di pantai timur laut, namun pada tahun 1852 mereka menghentikannya dan pindah ke pulau yang lain. Pemukiman besar yang pertama di Puau yang besar, kaya dan diberkati ini dan diklaim kepemilikannya selama 350 tahun barulah terjadi melalui kedua orang Jerman Ottow dan Geislert pada tahun 1855.

Nama Papua berasal dari kata dalam bahasa melayu, yaitu "Pua-Pua" yang berarti rambut keriting dan kemudian disingkat Papua.

Orang Papua pada waktu itu sangat curiga terhadap orang asing. Disamping itu mereka terkenal untuk merampok dan berperang serta hidup dari berdagang.

Rumah-rumah mereka dibangun diatas air untuk melindungi dari serangan musuh. Kebanggaan mereka adalah keberhasilan membunuh orang lain, yang ditandai dengan jumlah bulu sebagai hiasan kepala.

Kebiasaan untuk memakai manusia juga dijumpai di Tanah Papua Waktu itu. Mencuri dan perzinahan dipandang sebagai pelanggaran yang besar dan mendapat hukuman yang besar pula. Seringkala pula terjadi pembunuhan terhadap bayi-bayi yang baru lahir dan orang-orang yang sakit keras dikubur hidup-hidup.


AWAL YANG SULIT DAN PENUH TANTANGAN 

PADA TANGGAL 5 Februari 1855 C.W.Ottow dan rekannya J.G.Gaissler tiba di Mansinan yang letaknya berhadapan dengan Dore (Manokwari). Sebagai tempat tinggal sementara mereka memakai sebuah gubuk gudang penumpang batu bara peninggalan para pelaut ditepi pantai. Situasi yang dihadapi mereka sangatlah sulit. Kapal yang menghantar mereka sudah kembali. Tidak ada orang kecuali Frits yang dapat diajak berbicara. Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat dan bahasanya, mereka mengurusi diri mereka sendiri.

Penduduk setempat tidak memahami maksud dan tujuan kedua orang asing ini untuk menetap di Mansinam.

Dalam surat pengantar dikatakan Sultan Tidore mengirim mereka sebagi orang yang baik dan dengan maksud dan tujuan yang baik, tetapi hal itu tidak dapat mereka percayai, karena Sultan belum pernah melakukan kebaikan terhadap mereka (penduduk-masyarakat Pulau Mansinam- tetapi juga Papua umumnya). Terlebih penduduk terbiasa harus menanggung ketidak adilan dari Sultan Tidore.

Dengan alasan pajak setiap tahun mereka dijarah dan anggota keluarga mereka dijadikan budak, sebab itu tidaklah mengherankan kalu mereka tidak mempercayai isi surat dari Sutan Tidore dengan segala penjelasannya. Dalam hidup sehari-hari nampak kecurigaan penduduk setempat terhadap Ottow dan Geissler, kendatipun mereka tidak berani untuk menyerang kedua orang asing itu, tetapi dimata mereka, sehingga menurut mereka cepat atau lambat kedua orang asing ini akan disingkirkan, oleh sebab itu Ottow dan Geissler bersikap selalu waspada.


MEMULAI DENGAN AKTIFITAS UJIAN PERTAMA

Tibalah saatnya untuk memulai Pekerjaan mereka. Pertama-tama mereka harus mencari kayu yang cocok untuk membuat perahu dihutan Pulau Mansinam untuk dijadikan sarana transportasi laut untuk menyebrang kedaratan Manokwari, dimana rencana untuk membangun sebuah rumah. Karena mereka tak berpengalaman dengan jenis-jenis kayu di Papua, penduduk di Pulau Mansinam pun tidak menolong mereka dengan memberi informasi, maka mereka berdua berapa kali salah memilih kayu, sehingga pekerjaan berminggu-minggu menjadi sia-sia. (Kata Camma Geissler menulis dengan sampai tiga kali pohon kayu yang kami pilih dan tebang adalah pohon kayu yang besar, kayu besi yang tidak cocok karena berat dan akhirnya pecah karena kana panas matahari maka kami hampir tidak berdaya lagi.

Tetapi syukurlah saya melihat sebuah perahu di rumah orang Papua, dan saya beruntung dapat membelinya dengan harga 12 gelden. Dan akhirnya dengan Perahu itulah digunakan mereka untuk menyeberang ke daratan Manokwari Teluk Dore (Kwawi) dan di daratan Kwawi setiap hari mereka bekerja menebang pohon. Dan pada malam harinya mendayung kembali ke pulau Mansinam.

Karena mereka bekerja begitu keras pagi hingga malam sehingga akhirnya mereka jatuh sakit. Pertama-tama anak Frits menjadi sakit dan kemudian Ottow terkena kelengar mata hari, sehingga Ottow hampir meninggal . menghadapi keadaannya itu Geissler menulis dalam buku hariannya, saya sangat sedih dan memikirkannya, tetapi saya berdoa kepada Tuhan.

Tuhan saya membutuhkan dia dan orang-orang kafir ini membutuhkan dia, dem kerajaan-Mu, pulihkanlah dia kembalidan Tuhan yang Maha Mendengar seruan doa hamba-Nya dan akhirnya Ottow menjadi sembuh.

Tak lama kemudian Gaissler yang kena giliran sakit. Tamu yang jahat yaitu demam Malaria menyerang dia. Juga terkena luka borok (abses) di kakinya yang sangat membahayakan atau menyakitkan. Ottow juga berulang kena radang otak. Demikian mereka berdua terbaring dalam kesakitan, lemah dan tanpa pertolongan apapun di gubuk mereka di Mansinam.

Penduduk Mansinam mulai sadar bahwa kedua orang ini tidak membahayakan, kendati demikian mereka tidak menolong, acuh dan tanpa perasaan terhadap Ottow dan Gaissler. Ada sekelompok orang dari penduduk setempat sempat datang ke dalam gubuk untuk menengok , tetapi mereka hanya duduk saja, hanya memperhatikan Ottow dan Gaissler selama berjam-jam tanpa menolong sedikitpun. Tidak ada tangan yang diulurkan untuk memberikan segelas air.

Akhirnya datanglah pertolongan yang diharapkan. Gaissler menulis : Sesudah demam malaria meninggalkan saya dan saya untuk pertama kalinya dapat keluar gubuk. Saya merasakan kesakitan di kaki kiri saya, Borok itu semakin besar dan memerah, sehingga saya tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Kesakitan saya begitu luar biasa, sehingga saya berteriak dan terus merintih dan berdoa kepada Tuhan yang menjanjikan : Mintalah, carilah, ketuklah.

Meskipun kami tudak mempunyai harapan akan jalan keluar dari penderitaan ini, akan tetapi tetaplah benar apa yang Tuhan katakana : Tidak ada hal yang mustahil bagi mereka yang percaya, walaupun tidak terjadi mujizat yang luar biasa, tetapi Tuhan telah memimpin hati manusia seperti aliran sungai sehingga tanpa terduga datanglah sebuah kapal uap ke Mansinam, sehingga saya diselamatkan. Saya harus kembali ke Ternate. Tetapi keputusan ini sangatlah berat bagi saya. Beberapa tuan besar diatas kapal tersebut termasuk dokter kapal berusaha untuk meyakinkan saya, tetapi sia-sia karena saya masih tetap mau bertahan di Mansinam. Akhirnya Residen Belanda sendiri mengirim pesan sampai ketempat tidur saya dan mengatakan :


Saya memberikan kebebasan kapada Anda untuk datang ke Tanah Papua dan untuk berusaha hidup, tetapi karena kepada saya disampaikan Anda dalam keadaan kritis (hampir mati), maka saya hanya dapat mengatakan Anda harus kembali. Demikianlah akhirnya saya menyerah dan ikut ke Ternate.


Di Ternate J.G. Gaissler mendapat perawatan dan akhirnya sembuh, tetapi harus menunggu Kapal selama sekitar 10 (sepuluh) bulan untuk kembali ke Mansinam.


C.W. Ottow dengan pembantu mereka Frits tinggal sendirian di Pulau Mansinam. Walaupun terkadang di serang, Demam Malaria tapi selalu memperoleh keberanian, tenaga keteguhan hati pada keyakinan dan visinya. Untuk mengatasi kesepian Ottow mengintensifkan hubungan dengan para penduduk terutama melalui imbal dagang.

Ottow membeli hasil-hasil penduduk, kacang-kacangan, ikan, burung cenderawasih, kerang, perisai- senjata tradisional, teripang dan di jual kepada saudagar dari kapal Van Duivenbode, hasil uang dari penjualan tersebut digunakan untuk belanja kebutuhan pokok, obat-obatan. Pada tanggan 12 Januari 1856 (Gaissler) berangkat sengan kapal kembali ke Tanah Papua Mansinam di sertai 5 orang tukang kayuuntuk membangun rumah disana.

Tugas pewartaan pemberitaan Firman.Injil, atau penyebaran.

Pada tanggal 25 September 1858, dating 12 orang dalam kondisi lemah yang selamat dari kecelakaan kapal Belgia "Constant" Kapal tersebut pada tanggal 12 Juni 1858, menabrak batu karang dan pecah akibat salah leinnya disebelah selatan pulau karang Mansinam. Orang-orang Papua yang ramah pada saat itu melihat pada punggung salah satu awak kapal terdapat tulisan doa dalam bahasa Belanda akhirnya membawa mereka kepada Ottow dan merawat serta memberi makan pada anak buah kapal yang kena musibah tersebut selama 6 bulan.

Kedua misionaris dengan bantuan dari tukang dari Kapal tersebut, bersama 4 orang tukang dari Halmahera (Gelela) Ottow mengadakan pelayanan kebaktian setiap hari Minggu kepada mereka dalam bahasa Belanda. Dengan penuh rasa syukur mereka menngalkan Mansinam dan menggunakan perahu layer pada tanggal 11 April 1859 dan tiba di Ternate 1 Juni 1859 dan dalam bulan Oktober tahun yang sama mereka tiba di Amsterdam.

Nb. Gaissler dalam buku hariannya menulis : sering berulang-ulang menolong para Pelaut yang karena kapal-kapal dagang Jerman dan Belanda yang karam di perairan Papua. Hal menolong bukanlah sesuatu yang mudah, karena membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dan bersedia untuk merawat, memelihara sejumlah besar pelaut dan pengobatan.


PENYELAMATAN PARA PELAUT JERMAN YANG KAPALNYA KARAM

Pada bulan Maret 1857 mereka mendengar berita tenteng karamnya Kapal dagang Jerman yang terdampar pada batu karang di kawasan Teluk Cenderawasih, untuk menyelamatkan anak buah Kapal demi terhindar dari perbudakan dan kematian sebab ada tiga (3) orang anak buah kapl itu sudah dibawa ke Windesi. Ottow dan Gaissler menyiapkan barang-barang dagang untuk barter dan uang menyewa sebuah perahu dengan 22 orang laki-laki tenaga pendukung, setelah melalui suatu perundingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang harus berangkat, sebab seorang harus tinggal di Mansinam, akhirnya membuang undi, dan pilihan jatuh pada Gaissler.

Sehngga ia yang berangkat dengan para pendayung, dan pada tanggal 11 April 1857 ia berhasil menyelamatkan dan menebus 3 orang awak kapal sedang yang seorang berada di tempat yang jauh, namun setelah mendengar berita bahwa ia telah meninggal, para bajak laut sudah mengambilnya dan membunuh dengan kejam di semenanjung Wandamen. Leh sebab itu Gaissler dan para pendayungnya segera berangkat kembali ke Mansinam. Ketiga awak kapal yang diselamatkan itu, mereka dalam keadaan sakit dan terus dirawat oleh Ottow dan Gaissler. Sesudah mereka sembuh lalu mereka berangkat dengan kapal dan tiba dengan selamat di tanah air mereka (Jerman).

Sebagai tanda terima kasih kepada enyelamatan anak buah kapal Jerman dimana Pemerintah Belanda (Den Haag) mendengar bagaimana kedua missionaries  Ottow dan Gaissler mempertaruhkan nyawa dan milik mereka untuk menyelamatkan anak-anak buah kapal yang karam itu, kepada Ottow dan Gaissler diberikan hadiah kepada masing-masing sebesra 250 Gulden kepada mereka. Dalam agenda Gaissler menulis, Mereka merasa bersukacita bahwa sekarang mereka tidak perlu lagi hidup semata-mata dari uang persembahan Missi/Badan Zending, tetapi dapat hidup dari gaji Pemerintah Belanda, sehingga mereka lebih leluasa dalam menjalankan tugas.  (https://suarakritingfree.blogspot.com/2013/02/sejarah-masuknya-injil-di-tanah-papua.html )


Editor: Eveerth Joumilena

Oleh Dr. Ibrahim Peyon 

Dalam sejarah pekabaran injil di Yalimu khususnya GKI-TP, perlu dibedakan tiga konsep ini. Survei, persinggahan dan Injil Masuk. Survei adalah pengamatan baik melalui udara, darat dan laut untuk menentukan daerah pelayanan di atas peta. Persinggahan adalah tempat-tempat yang dilewati untuk menunju ke tempat tujuan. Injil masuk adalah para misionaris dan pengijil masuk di tempat tujuan, tempat yang sudah ditentukan berdasarkan survei. Para misionaris dan penginjil tinggal dan menetap di tempat itu untuk mengembangkan injil dan misi mereka.
Survei Udara

Sebelum masuk wilayah suku Yali, beberapa kali dilakukan survei oleh Misionaris melalui udara untuk menentukan daerah yang akan menjadi misi pelayanan mereka. Para Misionaris memetakan dan menentukan dalam peta, daerah dimana mereka akan masuk buka isolasi dan penyebaran injil. Di daerah Yalimu, survei udara dilakukan oleh misionaris GKI, pendeta Dr. Siegried Zรถllner, misionaris Gidi bersama pilot Bob. Di atas udara misionaris GKI-TP dan Gidi tentukan wilayah yang mereka akan masuk dan melayani, Misionaris Gidi pilih, wilayah Yalimu selatan di lembah Y, lembah Heluk, Seng, Solo dan sekitarnya, yang dilihat dari udara berbentuk huruf y maka disebut lembah y. Misionaris Zรถllner pilih sebelah utara dari lembah Ubahak hingga lembah Landi. Belakangan, seorang misionaris dari gereja protestan Belanda tiba, ia diajak ke Angguruk untuk bantu misionaris GKI-TP dan ditugaskan di Kosarek dan Nipsan. Tetapi, misionaris reformasi ini tidak mau bergabung dengan GKI-TP dan ia menjalankan misi dari gerejanya sendiri. Akhirnya, berselisih pendapat antara misionaris GKI-TP. Pdt Klaus Reuter lalu mengusir misionaris Belanda ini dari Kosarek dan Nipsan, akhirnya misionaris Zรถllner panggil kedua misionaris itu ke Angguruk dan mediasi perselisihan ini. Kemudian, Zรถllner menyerahkan kepada misionaris Belanda itu untuk masuk dan buka di lembah Landi khususnya Pasvalley dan Landikma, dan daerah itu kini menjadi basis gereja Reformasi yang disebut GJPI.
Setelah Zรถllner dan Vriend masuk dan buka Yalimu 23 Maret 1961, misionaris Helmut Bentz dan Adam Roth dari Jerman dikirim ke Papua untuk memperkuat misionaris Zรถllner dan dokter Vriend, Helmutz Bentz ditugaskan untuk masuk buka di lembah Habie dan Adam Roth ditugaskan masuk di lembah Pondeng. Sebelum mereka ke Pondeng dan lembah Habie, beberapa kali survei dari udara dengan pilot Bob, dari udara pendeta Zรถllner dan Bentz melihat sebuah lembah yang luas dengan beberapa perkampungan. Mereka menentukan dari udara di atas peta bahwa lembah besar itu akan menjadi tujuan pekabaran injil, lembah itu adalah Apahapsili. Di lembah ini telah menjadi tujuan perjalanan Helmut Bentz dan rombongan dan di tempat itu kemudian menjadi pusat pengembangan Injil dan disebarkan ke kampung-kampung lain hingga Mamberamo.

Perjalanan dan tempat-tempat persinggahan.


Zรถllner dan Bentz setelah menentukan lokasi melalui survei udara tersebut, Halmutz Bentz, Jareni, Rumbrar, dan para pemuda dari Bokondini ke Yalimu tujuan ke lembah Apahapsili. Halmut Bentz menjelaskan dalam bukunya, "Lebenszeichen aus Steinzeit" (1989), halaman 35-39 menjelaskan rute perjalanan dan tempat-tempat persinggahan mereka. Mereka mulai keluar dari Wamena tanggal 4 September 1965. Bentz menulis:
"4. September: Mit einem kleinen Boot setzen wir dicht bei Wamena รผber den Balim-FlรผรŸ. Den ganzen Tag geht es duch bewohntes Gebiet. Der Weg fรผhrt leicht bergauft, bis wir am ein Dorf mit dem Namen Letna kommen". (Bentz 1989: 35).
Artinya:
4 September: Dengan perahu kecil kami menyeberangi sungai Balim dekat Wamena. Sepanjang hari itu melewati daerah-daerah berpenghuni penduduk. Jalannya sedikit menanjak sampai kami tiba di sebuah desa bernama Letna".
Rute perjalanan ini ia tulis dalam catatan harian pada tanggal 10 Februari 1966 setelah kembali di Wamena. Bentz juga tulis dalam buku ini, perjalanan selanjutnya tanggal 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 tiba di Apahapsili. Untuk tanggal 8 September Misionaris Bentz dan rombongan tiba di daerah perkebunan orang Yali di dekat kampung Pong atau Tangumsili, sebagaimana ia tulis berikut:
"8. September: Trotz der vielen hohen Bรคumen Klapt es wieder mit dem `Drop`. Es wird krรคftig gegesen. Urwald, Urwald und nochmal Urwald! Die Nacht ist sehr kalt. laut Angabe des Piloten haben wir auf einer hรถhe von 3000 Meter kampiert.
Heute sind die Wegverhรคltnisse unmรถglich: mal รผber Baumstรคmme hinweg, mal unter Baumstรคmmen hindurch, wir merken, dass diese "Weg" schon begangen wurde, und kommen auch an verlassenen Feuerstellen vorbai.
Nach mehreren studen errichen wir einen Dani-Garten. Etwas spรคta sehen wir ein Haus und davon einen Mann, der sich um Brennholz kรผmmert. Langsam schleiche ich mich an sein geht auf - und fast nicht mehr zu. Wir umarmen uns - damit ist eine Brรผcke geschlagen. Bereitwillig geht er mit und zeigt uns den Weg weiter. Starker Regen. Langsam Wir es dunkel, und der mann will uns nicht lรคnger begleiten. Wir verzweifeln fast, denn es ist noch sehr weit. Wieder ein Haus bauen? Ich drรคnge zum Weitergehen. Endlich! Ein Dorf ist in Sicht! Einige Leute laufen vor Angst weg, als sie uns sehen. Sind es Yali oder Dani? Zu welchen Stamm gehรถren sie wohl!
Wir machen wieder ein Feuer, um uns zu wรคrmen und unsere Kleider zu trocknen. Eine Funkverbindung nach Wamena war an dem Tag nicht mehr mรถglich". (Bentz 1989: 37).
Artinya:
Pada 8 September: Meski banyak pohon-pohon tinggi, 'pendropan lagi'. Banyak makanan (diturunkan dari udara oleh pilot Bob). Masih berjalan di hutan rimba, hutan rimba, dan hutan rimba lagi! Malamnya sangat dingin. Menurut pilot, kami berkemah di ketinggian 3000 meter.
Hari ini kondisi jalan tidak mungkin: kadang-kadang kami melewati di atas batang pohon yang melintang, kadang-kadang di bawah batang pohon, kami melihat bahwa "jalan" ini telah dilalui, dan kami juga menemukan pekas perapian yang sudah ditinggalkan.
Setelah beberapa jam kami telah mencapai di tempat perkebunan orang Dani (ini di dekat kampung Tangumsili, perkebunan orang Yali ). Beberapa saat kemudian kami melihat sebuah rumah dan dari sana seorang pria yang sedang mengurus kayu bakar. Saya mendekati perlahan-lahan dan berdiri di depannya, ia menyelinap mulutnya terbuka lebar- dan hampir tidak bisa menutupnya lagi. Kami saling berpelukan - sebuah jembatan (hubungan) telah dibangun. Dia secara sukarela mengikuti bersama kami dan menunjukkan jalan kepada kami. Mulai hujan deras lagi. Secara berlahan hari mulai gelap dan lelaki itu tidak mau lagi menemani kami. Kami hampir putus asa karena perjalanan masih panjang. Apakah bangun rumah lagi? Saya mendesak untuk terus berjalan. Akhirnya! melihat sebuah kampung sudah di depan kita! Beberapa orang lari ketakutan saat mereka melihat kami. Orang Yali atau Dani? Mereka termasuk suku apa?
Kami membuat api lagi untuk menghangatkan diri dan mengeringkan pakaian kami yang sudah basah. Sambungan radio ke Wamena tidak mungkin lagi hari itu" (Bentz 1989: 37).
Peristiwa yang digambarkan oleh Misionaris Bentz di atas adalah peristiwa yang pernah terjadi pada tanggal 8 September 1965 di dekat kampung Pong atau Tangumsili. Tempat yang mereka tidur itu bukan kampung Pong, tetapi sebuah tempat yang bernama Siriki, sebelah barat dari Pong. Mereka melewati kampung Pong pada pagi hari, tanggal 9 September dalam perjalanan mereka menuju Yeruk dan tidur di Hunduhukusi, di tepi sungai Habie. Helmut Bentz tidak menulis banyak peristiwa lain yang terjadi di kampung Pong, karena mereka tidak lama di situ.
Tetapi, orang-orang yang pernah bertemu dan melihat mereka di Pong pasti memiliki cerita sendiri. Ada beberapa informan asli orang Pong menjelaskan kepada saya bahwa orang-orang Pong pernah memberikan makanan kepada Bentz dan rombongannya, makanan seperti pisang masak dan tebu, dan pernah menawarkan mereka untuk bermalam agar masak babi untuk makan bersama. Jelas pertemuan mereka ini penting, kisah versi orang Pong ini bagian dari sejarah. Akan tetapi, hal-hal ini tidak ditulis oleh Bentz dalam bukunya sebagai sumber sejarah resmi atau sumber utamanya itu. Bentz dan rombongan masih tetap melewati dan terus berjalan sampai di tempat tujuan. Bentz mengatakan kepada saya bahwa ia hanya mengejar ke tempat tujuan ke Apahapsili, sebuah tempat yang sudah ditentukan dalam survei udara, dan pilot terus mengikuti dan mengarahkan mereka dari udara rute perjalanan dan pendoropan makanan.
Kutipan di atas adalah sumber sejarah tertulis satu-satunya, peristiwa yang pernah terjadi tanggal 8 September di Kampung Pong atau Tanggumsili. Di mana kita lihat tanggal 8 September sebagai hari pertama tiba di kampung orang Yali, dan kampung Pong sebagai kampung PERSINGGAHAN pertama di lembah Habie.

Peristiwa 8 September ini sama dengan perjalanan Misionaris Siegfried Zรถllner yang melewati melalui Kurima, Juwarima hingga tiba di Piliam 23 Maret 1961. Misionaris Zรถllner dan dokter Vriend diterima di Juwarima dan masak seekor babi kecil sebagai simbol bersahabatan. Tetapi, Zรถllner dan Vriend tidak tinggal di Juwarima, dan tanggal itu tidak dianggap sebagai injil masuk di Juwarima. Karena Kurima dan Juwarima sebagai tempat persinggahan saja.
Pada tahun 1962, Zรถllner dan tiga penginjil lain dari Biak dan Tanah Merah-Jayapura bersama kepala suku Suwesi ke kampung Homdonggo melalui Hiklahin, dan tidur di Homdonggo. Suwesi sendiri dari kampung Homdonggo, dan ia masak satu ekor babi besar sebagai tanda terima misionaris Zรถllner. Pada suatu hari setelah kunjungan itu, Zรถllner, Yerisotouw, dan Mapan ke Yanggali, dan bermalam di kampung itu, kemudian menyeberang sungai Pondeng ke kampung Hasan-Irarek, Sali dan Panal. Di Panal Zรถllner diterima oleh Ameteruk Peyon, kemudian Zรถllner dan Rombongan ke Panggema dan kembali ke Piliam. Tanggal-tanggal perjalanan dan tempat-tempat persinggahan Zรถllner ini sebagai hari survei awal, bukan hari injil masuk.
Oktober 1966 Bentz dan Rombonganya perjalanan dari Apahapsili ke Angguruk dan tujuan perjalanan ini adalah survei daerah antara Pondeng dan Habie yang belum dibuka pekabaran injil. Dalam rangka itu, 1. Oktober setelah ibadah di Apahapsili mereka ke Hubliki dan tidur di rumah di kampung ini, tanggal 2 mereka tidur di dekat gunung Winahik dan 3 Oktober mereka tiba di Mabualem, tanggal 4 Oktober melayani pengobatan pasien penderita penyakit Frambรถssi di Mabualen. Seorang kepala suku bernama Tinggil Huluwil masak babi satu ekor untuk pendeta Bentz dan rombongan sebagai tanda terima dan bersaudaraan, dan tanggal 6 Oktober masuk ke kampung Mohi dan Sabulung Kepno terima rombongan misionaris Bentz dengan masak babi satu ekor di kampung ini. 7 Oktober mereka ke Suweneng, di sini tidak ada orang waktu itu, mereka tidur di situ, dan tanggal 8 Oktober mereka ke kampung Werenggik dan tidur di kampung Kiyi, di sini mereka diterima oleh Ameteruk Peyon (sebelumnya Ameteruk Peyon terima Zรถllner di Panal). Selanjutnya, 10 Oktober Helmut Bentz, Rumbrar, Jareni, Landi dan 8 pemuda Apahapsili tiba di Sali, dan mereka tidur di sini. Mereka melayani suntik dan obat kepada banyak orang sakit Frambรถssi di kampung ini, dan 11 Oktober mereka menuju Panggema.
Waktu mereka sampai di sungai Pondeng, sekelompok orang Sali mengikuti mereka hingga di tepi sungai Pondeng dan bunuh 6 pemuda Apahapsili, melukai dua lain, termasuk dua panah terkena pendeta Misionaris Helmut Bentz. Pembunuhan ini terjadi, karena masalah perang antara Pong-Kulet dengan Apahapsili di lembah Habie, akibat perang itu banyak orang Pong mengungsi ke Werenggik, Panal, Sali dan Panggema, dan mereka minta orang Sali melakukan balas dendam terhadap musuh mereka orang Apahapsili, dan sebagai balasannya orang Apahapsili serang kampung Pong dan tercatat 32 orang dibunuh. Di Sali sendiri, kepala suku Pabiahun pahabol dibunuh oleh Ware Faluk dari Apahapsili yang adalah pelaku utama perang itu bersama dengan lima polisi yang dikirim dari Wamena.
Seperti dijelaskan oleh bapak Ware Faluk sendiri, bahwa perang itu terjadi karena masalah perempuan, dimana bapak Ubalik Wilil dari Pong turun ke kampung Sohoni berkosa seorang perempuan, menantu dari Ware Faluk dengan cara bonggar atap rumah lalu masuk ke dalam, dan Ware tidak terima perbuatan Ubalik Wilil itu kemudian mengambil tindakan tegas dengan cara bunuh seorang pria di daerah Pong. Persoalan itu kemudian berkembang menjadi perang besar dan banyak kerugian nyawa dan harta benda dari kedua pihak. Tetapi, akhirnya perang itu berakhir dengan perdamaian antara Kulet dengan Apahapsili tahun 1971 dalam satu upacara perdamaian di Apahapsili, dan menciptakan perdamaian abadi. Itu semua karena injil, kasih dan damai dalam Yesus Kristus.
Dengan demikian, semua peristiwa dan tanggal-tanggal sejarah ini penting, baik sejarah perjalanan dan persinggahan maupun sejarah injil masuk. Beberapa tanggal seperti 3 Oktober 1966 di Mabualem, 6 Oktober di Mohi 1966, 8 Oktober di Werenggik 1966, 8 September di Tangumsili 1965, 10 Oktober di Sali 1966, ini bisa dibedakan baik. Mana tanggal persinggahan dan mana tanggal injil masuk. Menurut saya, tanggal 8 September di Tangumsili, 8 Oktober di Werenggik, dan tanggal 10 Oktober di Sali itu sebagai tanggal survei dan persinggahan, bukan tanggal injil masuk. Tanggal-tanggal itu sama dengan tanggal perjalanan Zรถllner melewati Kuruma, Juwarima menuju Piliam tahun 1961, survei ke Hiklahin, Homdonggo, Yanggali, Irarek, Sali, Panal dan Panggema tahun 1962. Ia singgah di tempat-tempat itu dalam perjalanan ke tempat tujuan, dan atau ia singgah dalam perjalanan survei. Maka, tidak bisa disebut sebagai tanggal injil masuk.
Tanggal injil masuk adalah tanggal dimana seorang misionaris masuk di sebuah kampung dan tinggal menetap di situ untuk menjalankan penyebaran injil. Atau setidaknya, ia diterima resmi dan melakukan pelayanan injil atau medis, seperti 3 Oktober di Mabualem.
Buku-buku berikut ini adalah sumber-sumber utama yang ditulis oleh para Misionaris sendiri tentang perjalanan dan kerja mereka di Yalimu. Misionaris Siegfried Zรถllner tulis sebuah buku dengan judul "Vergessene Welt" Erste Begegnungen mit den Yali in Bergland von West-Papua. Berarti: "Dunia yang terlupakan" Pertemuan pertama dengan orang Yali di daerah Pegunungan Papua Barat. Buku ini dibersembahkan untuk Robi Ismael Silak, Natan Pahabol dan Ibrahim Peyon. Buku ini sangat lengkap dan detil sejarah misionaris, dan pekabaran injil di Yalimu, terdiri 400 halaman. Misionaris Adam Roth tulis sebuah buku dengan judul: "Aus meinem Leben 1935-1975". Berarti; dari kehidupan saya 1935-1975. Buku ini khusus dibahas tentang sejarah pekabaran injil di Yalimu. Mama Hanelore, Istri dari pendeta Adam Roth juga tulis sebuah buku dengan judul: "Vom Geisterkult Befreit: Jesu sieg in New Guinea". Berarti: "Dibebaskan dari kepercayaan roh jahat: Kemenangan Yesus di New Guinea". Buku ini ditulis berbagai cerita dan pengalaman selama pelayanan mereka di Yalimu. Pendeta Helmut Bentz tulis dua buku. Buku pertama: "Lebenszeichen aus der Steinzeit: Missionarische Pionerarbeit in New Guinea". Berarti: "Tanda-Tanda Kehidupan di Zaman batu: Misionaris Pioner bekerja di New Guinea". Buku ini terdiri dari cacatan harian perjalanan Helmut Bentz di Yalimu dengen 104 halam. Buku itu kemudian direvisi dan dicetak ulang dengan judul; Lebenszeichen aus der Steinzeit". "Tanda-Tanda Kehidupan di Zaman batu". Buku cetakan baru ini telah ditambah banyak hal dan halaman bertambah menjadi 160 halaman. Buku-buku itu sumber utama sejarah pekabaran injil di Yalimu, tidak ada buku lain selain ini. Kecuali satu buku gambar dibuat oleh Susane Reuter.
Selain buku-buku di atas, berbagai dokumen dalam bentuk video, catatan harian, foto, dan manuskrip yang terdiri dari ratusan dokumen, total 800 dokumen telah diserahkan pada saya, khusus dokumen dari Siegfried Zรถllner, Helmut Bentz, Adam Roth dan Prof. Dr. Volker Heeschen. Berdasarkan dokumen-dokumen, indep interview dan FGD di Apahapsili, saya ditugaskan oleh VEM untuk menulis sebuah buku dengan judul: "Terang Bersinar di Balik Gunung". Buku ini merupakan gabungan dari dokumentasi para misionaris, dan hasil wawancara mendalam, Diskusi kelompok terarah (FGD) dengan para pelaku sejarah di Apahapsili. Pengumpulan data di Apahapsili dilakukan saya sendiri bersama Dr. Sonja Riesberg, seorang ahli linguistik dari Universitas Kรถln. Hasil wawancara dikumpulkan dalam bentuk video atau flem dokumenter, dan data-data itu di simpan di Universitas Kรถln, dan VEM/UEM di Wuppertal, dan mungkin juga di Unipa.
Saya tulis buku ini di Jerman, dan selalu konsultasi dengan Helmut Bentz, Margaret Bentz dan Siegfried Zรถllner. Sebelum dicetak, naskah buku ini diberikan kepada Helmut Bentz, Margaret Bentz dan Siegfried Zรถllner, mereka periksa naskahnya selama dua bulan, koreksi kesalahan dan disetujui untuk dipublikasi.
Karena sejarah adalah kebenaran, dan kebenaran adalah bukti dan fakta. Sebuah kebenaran bisa dibuktikan dengan dokumen tertulis, dan visual. Bila kita bicara kebenaran, tetapi tidak bisa dibuktikan dengan dokumen tertulis dan visual, maka nilai kebenaran dapat diragukan dan tidak bisa disebut kebenaran lagi. Sejarah berdiri di atas dokumen, dan bukti-bukti tertulis dan artefak, sejarah tidak bisa merubah di tengah jalan atas kehendak individu dan kelompok, sejarah tidak bisa dipaksakan dengan tekanan dan kekerasan, karena kepentingan tertentu. Sejarah sebagai kebenaran akan mencari jalannya sendiri, meskipun dibelokannya. Karena bukti tertulis, visual dan benda material atau artefak tersebut.
Berkaitan dengan suveri, persinggahan, dan injil masuk yang telah dibahas dan sedang menjadi perdebatan dalam jemaat-jemaat di Yalimu saat ini, saya mengusulkan dua hal sebagai solusi.
1). Peringantan Hari Persinggahan. Kampung-kampung yang pernah lewati para misionaris dalam perjalanan menuju tujuan dan perjalanan survei, bisa dibangun Dugu sebagai peringatan pekas perjalanan Misionaris. Bahwa para misionaris pernah singgah pada tanggal dan di kampung tertentu, dan tanggal itu ditetapkan sebagai hari PERSINGGAHAN.
2). Peringatan Hari Pekabaran Injil. Para misionaris dan atau penginjil yang pertama masuk di kampung-kampung, tinggal menetap dan mengabarkan Injil itu ditetapkan sebagai tanggal injil masuk, dan bisa dibangun Dugu sebagai Hari Perayaan Injil atau hari masuknya Injil.
Maka makna dan nilai sejarah tidak bisa dikaburkan. Perayaan hari Injil Masuk tidak bisa disamakan dengan makna survei dengan persinggahan. Makna dan nilai pekabaran Injil itu, para misionaris masuk di sebuah kampung, tinggal tetap di tempat itu, membangun jemaat, memberitakan Injil, membangun gedung gereja, dan mengembangkan jemaat di tempat itu.


Papua merupakan salah satu daerah penyumbang masyarakat Kristen terbesar di Indonesia. Menurut data Kementrian Agama Republik Indonesia, jumlah penganut agama Kristen di tanah Papua sebanyak 3.000.104 jiwa dari total penduduk 4.346.593. Benih Kekristenan tumbuh dan berkembang dengan begitu subur di tanah Papua. Tidak hanya di perkotaan, tetapi nilai-nilai Kekristenan juga menyebarkan hingga daerah-daerah pedalam Papua.

Oleh Kristanto Yosua Moubata

Tumbuh kembangnya Kekristenan di tanah Papua merupakan buah dari benih yang ditaburkan oleh para misionaris Kristen terdahulu. Para misionaris ini memiliki kerinduan dan gairah yang teramat besar untuk menyampaikan kabar baik. Mereka bahkan harus mengorbankan berbagai macam kepentingan pribadi demi menjalankan misi penyebaran Injil Kristus di tanah Papua. 

Misionaris pertama yang datang untuk menjalankan misi penginjilan di tanah Papua adalah Carl Willhelm Ottow dan Johan Gottlob Geissler yang berasal dari Jerman. Pada tanggal 26 Juni 1852 tepatnya waktu malam hari kedua misionaris ini berangkat dari Rotterdam, Belanda menuju Batavia (kini dikenal Jakarta). Waktu yang dibutuhkan dari Belanda ke Batavia kurang lebih empat bulan dengan menumpang kapal laut Abal Tasman.  Padq anggal 7 Oktober 1852 kedua misionaris tersebut sampai di Batavia.

Untuk sampai ke tanah Papua bukanlah hal yang mudah. Pada waktu itu transportasi teramatlah sulit. Lokasi tujuan pun juga belum diketahui secara pasti. Walaupun demikian, dengan bermodalkan iman kepada Tuhan dan karena kerinduan untuk menyampaikan Injil mereka tetap membulatkan tekad untuk menuju ke tanah Papua.

Setelah tiba di Batavia, mereka harus berhenti kurang lebih selama dua tahun untuk menunggu surat izin dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Pemerintah yang berkuasa pada saat itu ialah Hindia-Belanda. Aturan pemerintah Belanda waktu itu menegaskan bahwa kewarganegaraan Belanda dilarang memasuki wilayah lain di Indonesia karena dua alasan utama yaitu terkait keselamatan orang tersebut dan kecurigaan terhadap warga negara lain terkait wilayah jajahan. Kedua alasan utama inilah yang mempersulit para misionaris mendapatkan surat perizinan.

Selain itu, khususnya terkait faktor keselamatan Ottow dan Geissler  belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan pihak Belanda bahwa daerah yang mereka tuju cukup aman. Hal ini dikarenakan pada masa itu wilayah Papua dianggap berbahaya karena masyarakatnya terkenal dengan kejahatan perampokan, peperangan, dan kurang berjasa terhadap orang asing. Inilah yang mengakibatkan perjalanan harus ditunda.

Setelah sekian lama menanti, akhirnya Ottow dan Geissler  mendapatkan persetujuan dari pemerintah Hindia-Belanda untuk pergi menginjili di tanah Papua. Namun, perizinan mereka  dibatasi hanya sampai ke Ternate. Surat perizinan ini dikeluarkan dengan bantuan suatu badan bernama zending di Batavia “Het Genootsvhap Voor In-en Vitwendige zending”. Badan ini yang berfungsi untuk menampung para utusan yang datang dari Eropa.

Setelah beberapa lama di Ternate, Ottow dan Geissler mendapatkan informasi terkait harapan untuk datang ke Papua dengan agenda penyebaran Injil. Hal ini didukung oleh beberapa informasi bahwa masyarakat di Manokwari bagian barat daya Papua dikabarkan dapat diajak berkomunikasi dengan cukup baik. Informasi ini disampaikan peneliti bernama Zeding G.F De Bruin Kops yang melakukan penelitian ilmiah dalam menentukan batas wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di tempat tersebut.

Melihat harapan yang di depan mata, Ottow dan Geissler langsung mengambil keputusan untuk berangkat ke tanah Papua. Pada tanggal 5 Februari 1855 tepatnya pada pukul 06.00 pagi, kapal telah berlabuh di teluk Doreh. Mereka berdua tinggal sementara waktu di sebuah gubuk bekas peninggalan pelaut di pulau Mansiman. Kemudian, untuk sampai ke Manokwari Oleh karena itu, mereka berusaha membuat sebuah perahu yang nantinya dipakai ke Manokwari.

Setelah mereka berhasil membuat sebuah perahu, mereka pun berangkat dan tiba di bibir pantai Manokwari. Pemandangan awal yang ditemukan di depan mereka ialah hutan rimba yang dipenuhi pepohonan yang rapat dan lebat. Mereka harus bekerja ekstra dalam merangkul masyarakat lokal. Tidak jarang mereka harus menderita penyakit malaria yang membuat mereka sekarat. Namun karena misi menyebarkan injil dan harapan besar untuk mengubah peradaban Papua menjadi lebih maju, maka hal itulah yang mendorong mereka untuk terus bekerja berusaha dan bekerja lebih keras.

Hasilnya ialah mereka mampu hidup berdampingan dengan masyarakat setempat. Untuk mempermudah komunikasi maka mereka berkomitmen mempelajari bahasa lokal, yaitu bahasa Numfor (Mafoor). Mereka bahkan mampu membuat kamus 1500 kata dalam bahasa lokal yang kemudian diserahkan kepada komisi ilmu pengetahuan Belanda yang waktu itu sedang berkunjung ke Mansinam tahun 1958.

Melalui kerja keras Ottow dan Geissler dan pertolongan Tuhan, maka Injil semakin mudah untuk disebarkan. Banyak masyarakat lokal yang mengenal nilai-nilai Kekristenan dengan lebih baik. Bahkan kedua misionaris ini mampu mengubah doa bapa kami ke dalam bahasa Numfor (Mafoor) yang membantu masyarakat semakin mengenal Tuhan. Banyak jiwa yang memberi dirinya untuk menerima kebenaran Injil. 

Ottow dan Geissler memberikan dampak yang begitu besar bagi masyarakat Papua. Bahkan hingga saat ini kedua misionaris ini masih dikenang oleh masyarakat Papua sebagai orang yang berjasa membawa masyarakat Papua kepada cahaya baru. Tidak hanya itu, pelayanan tersebut juga memberikan dampak kemajuan terhadap peradaban masyarakat Papua berupa moralitas, perilaku sosial, pendidikan dan hidup beragama. Untuk mengenang jasa kedua misionaris tersebut, maka setiap tanggal 26 Oktober diperingati sebagai hari masuknya Injil ke tanah Papua. Pada tanggal tersebut, menjadi momen reflektif dan ungkapan syukur kepada Tuhan karena telah memberikan pencerahan iman. Selain itu,  melihat pengaruh kedua misionaris tersebut yang begitu besar, maka dibuatnya kesepakatan dari sejumlah tokoh Gereja Kristen Injil (GKI) di tanah Papua untuk membangun sebuah perguruan tinggi yang diberina nama Universitas Kristen Ottow dan Geissler.

Ottow dan Geissler menjadi teladan tidak hanya bagi masyarakat papua saja, namun untuk semua umat Kristen di dunia. Semangat dan motivasi untuk menyebarkan Injil begitu besar hingga segala tantangan dan rintangan dapat dilalui. Hal yang paling difokuskan terhadap iman kedua misionaris ini adalah ketaatan dan kepercayaan Tuhan. 

Layaknya Abraham yang diutus Tuhan ke suatu negeri yang belum jelas keberadaanya, namun Abraham berjalan dengan Iman. Ottow dan Geissler bahkan tidak tahu keberadaan posisi keberadaan Papua. Bahkan setibanya di Batavia (kini Jakarta) mereka belum memiliki gambaran jelas tentang dimana dan seperti apa Papua. Namun, layaknya Abraham, Ottow dan Geissler juga berjalan dengan Iman hingga tiba di tanah yang Tuhan janjikan. Iman yang mereka tanamkan di bumi cendrawasih kini telah berbuah lebat karena kemurahan Tuhan.


Referensi

RI, K. A. (2022, April). data.kemenag.go.id. Retrieved April 21, 2022, from Data Umat Berdasarkan Agama: https://data.kemenag.go.id/statistik/agama/umat/agama

Joumilena, E. (2022, Februari 05). portalpapua.pikiran-rakyat.com. Dipetik April 22, 2022, dari 167 Tahun Injil Masuk Tanah Papua Sejak 1855 – 2022, Inilah Riwayat Hidup Misionaris Ottow dan Geissler: https://portalpapua.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-1303658992/167-tahun-injil-masuk-tanah-papua-sejak-1855-2022-inilah-riwayat-hidup-misionaris-ottow-dan-geissler?page=3

lintaspapua.com. (2019, Februari 05). lintaspapua.com. Dipetik April 22, 2022, dari Inilah Sejarah Masuknya Injil Di Pulau Mansinam 5 Februari 1855: https://lintaspapua.com/2019/02/05/inilah-sejarah-masuknya-injil-di-pulau-mansinam/

Universitas Ottow Geissler Papua. (2020, Desember 10). uogb.ac.id. Dipetik April 22, 2022, dari Latar Belakang Berdirinya Universitas Ottow Geissler Papua: https://uogp.ac.id/index.php/profil-uogp/sejarah-singkat

Pada 1527, Pangeran Fatahillah dari Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Pergantian nama tersebut diperkirakan terjadi pada 22 Juni, yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai hari jadi Kota Jakarta