Articles by "Indonesia"
Showing posts with label Indonesia. Show all posts
OTSUS Abuti mulai 1 Mei 1963 dgn mata uang sendiri IB Rp (Irian Barat Rupiah).

Nanti Sukarno dugulingkan Tahun 1965 lalu OTSUS dihapuskan Melalui TAP MPRS Pasal 6 No. 21 Tahun 1966.

Setelah PEPERA Dikembalikan Lagi ke OTSUS Melalui UU OTSUS No. 12 Tahun 1969.

UU No. 12 belum ada penghapusan Lagi dong su bikin UU OTSUS baru tindis yg lama baku naik lewat UU OTSUS No. 21 Tahun 2001.

UU No. 21 ini tra jelas lg sekarang dong bikin perpanjang Penjajahan lg.

OTSUS Pertama 1 Mei 1963 untuk masa waktu 25 Tahun hingga 1 Mei 1988

OTSUS Kedua Tahun 1969 tidak berlaku selama 32 Tahun hingga 2001

OTSUS Ketiga juga tidak berlaku selama 20 Tahun hingga 2021. 

Sekarang OTSUS Keempat jg pasti tra berlaku selama 20 Tahun lg. 

Written by John Anari
Di tulisan: Made Supriatma

Salah kelamin, salah kostum: Selama sepuluh tahun terakhir, publik Indonesia benar-benar dikenyangkan oleh apa yang oleh Michael Billig disebut sebagai "nasionalisme dangkal" atau banal nationalism. 

Nasionalisme macam begini kerap hadir dalam acara-acara negara. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari istana, kendaraan, bendera, umbul-umbul, bahasa, hingga ke pakaian. 

Semua itu menyimbolkan negara. Kehidupan sehari-hari diingat-ingatkan bahwa ada negara. Dan negara pun berusaha membentuk identitas. 

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk. Sayangnya, seperti sebagian besar penduduk negeri ini, yang sebagian besar menderita buta huruf fungsional (functionally illiterate), para elit negara ini pun sebenarnya tidak tahu persis kebudayaannya sendiri. 

Buta huruf fungsional adalah mereka yang bisa membaca tetapi tidak paham maknanya. Dan, gedibal-gedibal para elit ini pun sami mawon. Mereka tidak mengerti bangsanya sendiri namun merasa berhak menentukan bahwa ini identitas suku A, ini identitas suku B, suku C, dan seterusnya ... seraya mengklaim bahwa inilah Indonesia! 

Yang menyedihkan dari semua ini adalah keberagaman ini kemudian dirampas menjadi kesatuan. Anda mungkin tidak peduli dengan konsekuensinya. 

Sangat serius. Sungguh sangat serius. Pakaian-pakaian adat diseremonikan, namun masyarakat adat pemiliknya dipinggirkan. Tanah-tanah mereka dirampas karena dibawahnya ada mineral. Jika tidak, tanah-tanah mereka dijadikan perkebunan-perkebunan. 

Ribuan alat berat datang ke Merauke untuk mencetak satu juta hektar sawah. Apakah tanah-tanah itu tidak bertuan? Dalam mata negara, itu semua punya negara. Dan, negara pula yang berhak memberikannya kepada siapa saja. 

Sama seperti pakaian adat Papua ini. Pakaiannya dipakai untuk acara resmi kenegaraan. Namun manusianya? Saya kira, dalam nasionalisme dangkal si anak yang memakai pakaian ini, dialah orang Papua. 

Dia bahkan tidak mau susah payah bertanya mencari tahu, apa itu Papua? Apa pakaian yang biasa dikenakan oleh orang Papua? Saya kira, yang dia lihat hanya brosur-brosur turis. 

Dan terjadilah hal yang aneh ini. 

Kita mungkin bisa tertawa sejenak. Namun, perlu juga diingat bahwa puluhan anak-anak muda Papua ditangkap hanya karena ingin mengingat New York Agreement 1962. Jutaan hektar tanah-tanah mereka dirampas, kekayaan alam mereka dikeruk, sementara mereka mati kelaparan dan sakit di atas kekayaan tanah mereka.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom menyebut 17 kali kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Papua, namun tak pernah sama sekali bertemu dengan Majelis Rakyat Papua (MRP). Jokowi hanya bertemu dengan kelompok-kelompok yang tidak berseberangan dengan pemerintah pusat, sehingga kunjungan itu tidak menyelesaikan konflik kekerasan di Papua.

Setidaknya 17 kali Presiden ke Papua, namun pertemuannya hanyalah dengan pihak-pihak dalam tanda petik Pro Jakarta dan tidak pernah berdialog dengan pihak-pihak di luar itu, bahkan dengan MRP pun tidak pernah," kata Gomar dalam diskusi publik daring yang digelar Amnesty Internasional Indonesia, Jumat (3/5/2024).

Pemerintah kini justru dianggap memperluas pendekatan militer dengan mengubah nomenklatur istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dia khawatir, pendekatan militer ini akan mengabaikan aspek hukum yang seharusnya dikedepankan dalam peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi. "Saya melihat nomenklatur OPM akan ada pendekatan keamanan pada setiap persoalan di Papua, dan itu kekhawatiran terutama akan mengabaikan pendekatan hukum yang musti dilakukkan kepolisian, kekhawatiran paling dalam," tandasnya. Baca juga: TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri Selain itu, pendekatan militer tidak sesuai dengan janji-janji pemerintah pusat baik saat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ataupun dipimpin Presiden Joko Widodo.

Gomar mengatakan, SBY berkali-kali mengatakan akan menyelesaikan masalah di Papua menggunakan pendekatan dengan hati. Ucapan ini berkali-kali dikatakan SBY. Termasuk dalam hasil pertemuan para pimpinan gereja di Papua pada 2011 silam. Dalam pertemuannya di Cikeas, SBY menyebut masalah bisa selesai dengan cara win-win solution. "Dari SBY sendiri yang mengatakan saat itu "kita hanya bisa menyelesaikan masalah Papua dengan win-win solution, istilah itu dia pakai," Jakarta punya keinginan kesatuan NKRI untuk Papua, teman-teman i Papua ingin merdeka, tapi saya yakin ada win-win solution kata beliau," ucap Gomar.

Sayangnya percakapan ini tidak berlanjut," sambung Gomar. Baca juga: TNI Kembali Pakai Istilah OPM, Pengamat: Cenderung Pakai Pendekatan Operasi Militer dalam Mengatasinya Hal senada juga dikatakan Presiden Joko Widodo. Presiden aktif Republik Indonesia ini mengatakan masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan kultural. "Pak Joko Widodo selalu mengatakan pendekatan kultural. Pendekatan kultural lah yang bisa selesaikan masalah Papua, kata beliau," tutur Gomar. Pada 2014, setelah terpilih, Jokowi mengunjungi Papua dan melakukan pertemuan dengan beragam tokoh Papua. Saat itu Gomar ikut dan meminta agar Jokowi tidak memulai pendekatan masalah Papua dari nol, tetapi bisa mengikuti road map yang telah disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang menjadi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). "Sayangnya kemudian sepemahaman saya, Pak Jokowi lebih memusat pada pembangunan infrastruktur. Jelas ini sesuatu yang positif kalau dilihat sepintas, tetapi juga tidak bisa menyelesaikan masalah kalau di sisi itu, apalagi kalau

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/05/03/13153081/ketum-pgi-17-kali-jokowi-ke-papua-tapi-hanya-bertemu-pihak-pro-jakarta.


Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
17 Agustus 1945 dan Perjanjian New York!

Tidak ada entitas bangsa dan wilayah teritorial yang diproklamirkan Soekarno pada 17 Agustus 1945. Soekarno tidak pernah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada bukti orang Papua terlibat dalam proklamasi ini. Secara de facto dan de jure tidak pernah diakui oleh satu negara lain saat itu. Pengakuan teritori Sabang sampai Amboina oleh Belanda baru terjadi tahun 1949 di bawah UU Republik Indonesia Serikat.
Sampai pada tahun 1960, West Papua adalah jajahan Belanda, diklasifikasikan oleh hukum internasional dan terdaftar sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri di PBB. Bukan bagian resmi dari Indonesia sebagaimana klaim Indonesia bahwa West Papua sudah menentukan nasib melalui proklamasi 17 Agustus 1945. Maka, atas resolusi 1514 (XI) PBB tentang kemerdekaan bagi wilayah-wilayah jajahan, maka Belanda selaku pemegang administrasi mempersiapkan kemerdekaan West Papua sebagaimana manifesto politik West Papua 1 Desember 1961.
Indonesia halangi proses dekolonisasi West Papua, atau hak hukum rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai semangat deklarasi PBB dilanggar dengan mengokupasi teritori West Papua. Presiden Soekarno melancarkan ekspansi politiknya di West Papua dengan kekuatan militer membuat West Papua menjadi sengketa internasional. Konspirasi ekonomi politik AS, Belanda dan Indonesia melahirkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Perjanjian New York, sekalipun tidak melibatkan rakyat West Papua dan merupakan rekayasa AS, Belanda dan Indonesia, tetapi perjanjian itu menjadi landasan hukum internasional bahwa Indonesia, Belanda dan PBB mengakui kembali West Papua sebagai wilayah tak berpemerintahan sendiri yang memiliki hak hukum substantif untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka sesuai perjanjian itu, Indonesia mengambil peran kekuasaan administrasi dari kolonial Belanda pada 1 Mei 1963 untuk mendorong hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Jadi, 1 Mei 1963 itu adalah penyerahan kekuasaan administrasi kolonial, bukan penyerahan kedaulatan West Papua ke tangan Indonesia.Artinya, Indonesia diberi mandat untuk memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua, sama dengan mandat yang diemban Australia untuk memerdekakan PNG, atau Inggris kepada Fiji, Prancis dan Inggris kepada Vanuatu, Portugis kepada Timor Leste, atau sekarang Prancis yang sedang melaksanakan referendum untuk Kanaky.
Mandat inilah yang tidak dilaksanakan Indonesia sampai saat ini. Pepera 1969 bukan suatu penentuan nasib sendiri, karena tidak dilaksanakan sesuai prinsip dan standar hukum internasional. Indonesia tidak melaksanakannya sesuai persyaratan prosedur internasional sebagaimana Pasal 73 Piagam PBB. Pepera 1969 bukan suatu integrasi tetapi aneksasi sepihak karena keputusan untuk berintegrasi dengan sebuah negara yang sudah ada bisa sah hanya jika proses integrasi itu memenuhi persyaratan-persyaratan Prinsip IX Resolusi Sidang Umum PBB 1541(XV).

Melinda Janki, pengacara Internasional mengatakan: “Pepera gagal memenuhi satu pun kriteria untuk sebuah proses penentuan pendapat rakyat yang sah di bawah hukum internasional”. Pomerance menganggap Pepera sebagai “sebuah pro forma (basa-basi) dan tindakan palsu. Cassese mendeskripsikan integrasi West Papua ke Indonesia sebagai “sebuah penyangkalan besar terhadap hak penentuan nasib sendiri, sebuah pilihan palsu, sebuah sandiwara dan pengkhianatan besar terhadap prinsip penentuan nasib sendiri.

Karena itu, teritori West Papua hingga saat ini berstatus sebagai wilayah yang belum berpemerintahan sendiri (non self government territory) dibawa pendudukan kolonial Indonesia. Sehingga Indonesia memegang mandat kepercayaan suci untuk wajib segera memenuhi hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua sesuai piagam PBB.

Pelinus Jubir Internasional KNPB,
Victor Yeimo
Kronologis khusus. Pemukulan terhadap *Tn. Edison Tebay* yang sedang di rawat di Ruang ICU - Rumah sakit Dian Harapan.

Pukul : 8. 00 wpb, Masa aksi di titik perumnas 3 Waena yakni; Asrama Yahukimo, Paniai, Maibrat, Kerom secara bersama-sama longmars ke jalan raya, kemudian di hadang oleh aparat gabungan Indonesia.

Pukul 9: 10, Korlap bersama masa aksi sedang bergantian orasi sambil mengumpulkan masa,, Namun di hentikan paksa oleh Aparat.

Pukul 9 : 20 wpb, karena reaksi aparat yg berlebihan, maka korlap dan beberapa kawan berupaya negosiasi, namun tidak di hiraukan oleh Aparat. Kemudian terjadi tindakan represif oleh Aparat militer gabungan yg berlebihan terhadap masa aksi.

Kejadian selanjutnya bisa nonton pada video yang telah tersebar di media sosial. 

Saat aparat mengeluarkan Gas Air mata dan peluruh karet ke arah masa aksi, maka ada banyak kawan2 yg kena luka dan pusing.

Salah satu korban, adalah atas nama Tuan. Edison Tebay. Kawan kami kena Gas air mata, pada Pelipis mata bagian kiri. Dampaknya, mata menjadi kabur, dan di tutupi oleh darah yang cukup banyak.

Untuk saat ini, *Tuan. Edison Tebay* di larikan ke rumah sakit Katolik *Dian Harapan*- Waena Perumnas II - Papua Barat. Sementara sedang di tangani oleh para medis setempat, di dalam ruang ICU.

Kami yang lain ada kumpul di halaman - depan ruangan ICU - Rumah Sakit Dian Harapan. Kami mohon dukungan doa restu dari saudara sekalian sebagai satu jiwa, satu bangsa. ๐Ÿ™๐Ÿฟ❤️๐Ÿ’ช๐Ÿพ

----------------
Kronolog : warpo Wetipo Pelapor : Yopi Mote.
no image
Tuan Dusun di Maam, Kampung Nakias, Distrik Nguti atas nama Lamek Wayoken dianiaya oleh oknum brimob tanpa ada kesalahan hingga mengalami kebutaan.

Beliau dianiaya oleh Brimob yang ditugaskan untuk menjaga Perusahaan milik Korindo di Maam, menggunakan tali fembel yang dihantamkan ke kepalanya dan mengenai tepat di mata sebelah kanan korban.

Nama oknum Brimob yang menganiaya sampai sekarang masih belum di ketahui, namun komandan pos yang berjaga saat itu bernama Hermawan Darwin Toto.

Semoga kasus ini segera terungkap, mengingat korban adalah tulang punggung keluarga, anak asli Marind pemilik Negeri Anim Ha.

Kasus ini sedang di bantu Advokasi oleh Pusat Konsultasi Bantuan Hukum, (PKBH) Musamus, Nasri Wijaya,S.H.,S.Sos,.M.H dan Tim Kuasa Hukum Rudi Iriyanto Horong.,S.H.

Semoga kasus ini menjadi perhatian bagi kita semua. Karena Tuan" dusun sudah tidak berdaya. Memangnya cara menyelesaikan masalah dengan siksa orang kah ?