Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat Papua diakui oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dijelaskan bahwa Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua dalam melakukan pengembangan daerah Papua. Dijelaskan dalam Pasal 64 ayat (1) UU 21/2001 bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi sumber daya alam, baik hayati ataupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak ulayat milik masyarakat adat Papua untuk kesejahteraan penduduk.
Kerancuannya sbb: “Selain hak kepemilikan atas tanah ulayat, pemegang hak ulayat juga memiliki kewajiban atas tanah ulayat, salah satunya adalah melepaskan tanah apabila diperlukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan pemberian ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, bahwa pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah apabila diperlukan Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas faktor fisik dan ganti kerugian atas faktor non fisik berdasarkan hasil musyawarah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan”.
Kerancuan UU-Otsus menjadi alasan diterbitnya Permen dan Kepres, contoh kasusnya sbb:
10 November 2023, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), yang merevisi dan menambahkan daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan. Permenko 8/2023 ini sekaligus menjustifikasi minat pemerintah menetapkan proyek lumbung pangan terintegrasi (food estate) berlokasi di Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Pemerintah nasional dan daerah berencana menjadikan Merauke sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK Merauke ini difokuskan pada produksi padi dan tebu dengan luas lahan mencapai 2 (dua) juta hektar.
Presiden Jokowi juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) pada Juni 2023 sebagai karpet merah bagi industri gula dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati di Tanah Papua seluas 700.000 hektar.
UU-Otsus jilit dua membingungkan dan menjadi dilematis bagi para pejabat Gubernur dan Walikota/Bupati di Tanah Papua dalam penerapannya, sehingga mereka begitu muda dikendalikan langsung oleh pusat melalui Peraturan menteri (Permen) maupun Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden, karena kerancuan itu.
UU-otsus jilit dua menjadi ancaman bagi pribumi Papua terutama pencaplokan hak-hak kolektif yang berhubungan langsung dengan kelangsungan hidupnya, yaitu “tanah, hutan dan air”. menggunakan alasan kepentingan negara.
Pembentukan provinsi-provinsi baru di wilayah Papua Barat berdampak pada kerancuan UU-Otsus jilit dua, terutama pelaksanaannya yang mengara terjadinya eksekusi hak kolektif masyarakat adat diluar kompromi, seperti halnya yang terjadi di Merauke Papua Selatan.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.
Post A Comment:
0 comments: