Sejak era Presiden Soeharto pembuatan jalan di Papua telah berlangsung. Program tersebut yang kini dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo.
Martin Sitompul, https://historia.id/
27 January 2019
Program pemerintah untuk membangun jalan Trans-Papua diperkirakan rampung tahun ini. Hingga akhir 2018, telah tercapai pembangunan ruas jalan sepanjang sepanjang 1.982 km dari total target 4.330 km. Proyek ini menjadi program unggulan pembangunan infrastruktur periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, kritik tetap diarahkan terhadap kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur skala besar di Papua. Menurut Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, proyek ini patut di evaluasi karena memakan biaya besar dan tak berdampak langsung terhadap rakyat Papua. Sementara Natalius Pigay, mantan Komisioner HAM yang juga tokoh Papua mengatakan program infrastruktur Jokowi tak lebih dari pencitraan.
Menilik sejarah, program pembangunan jalan di Papua sebenarnya telah dicanangkan di era Orde Baru. Pada dekade 1970, Presiden Soeharto mulai menaruh perhatian soal infrastruktur di Papua yang saat itu masih bernama Irian Jaya. Program ini dinamakan “Proyek Pembangunan Jalan Arteri Propinsi Irian Jaya”. Salah satu sasarannya adalah membuka isolasi daerah-daerah pedalaman yang letaknya terpencil.
“Pembangunan jalan darat yang menembus jauh ke pedalaman merupakan salah satu jawaban yang penting bagi perkembangan ekonomi, pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah ini,” kata Presiden Soeharto ketika meresmikan jalan tembus Sentani-Genyem di Sentani, dilansir Suara Karya, 8 Desember 1977.
Baca juga: Papua di Antara Bung Besar dan Sang Jenderal
Pedalaman Papua, menurut Soeharto perlu dikembangkan agar dapat menjadi daerah transmigrasi. Pengembangan itu dimaksud untuk membuka lapangan kerja bagi penduduk dan menghasilkan kebutuhan bahan pangan. Dengan demikian, kota-kota sekitarnya tidak tergantung dari luar daerah.
Soeharto juga menilai potensi Papua di masa mendatang cukup besar. Provinsi di ujung timur ini mencakup seperlima luas tanah seluruh Indonesia. Dengan diresmikannya jalan tembus Sentani – Genyem itu, kata Soeharto, satu langkah lebih maju telah diambil dan dibuktikan.
“Kita semua berharap agar dengan adanya jalan ini, ekonomi daerah ini akan cepat tumbuh , kesejahteraan rakyat akan naik,” ujar Soeharto.
Baca juga: Papua di Tangan Soeharto
Dua tahun kemudian, Soeharto menyetujui dimasukkannya pembangunan jalan antara Wamena dan Nabire di Irian Jaya dalam anggaran Repelita III. Persetujuan ini dinyatakan Soeharto kepada Gubernur Irian Jaya Mayjen Sutran di Istana Merdeka, 8 Desember 1979. Dikutip dari buku Jejak Langkah Pak Harto: 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983, Sebelumnya, pembangunan jalan yang panjangnya lebih kurang 1.000 kilometer itu dikerjakan oleh Pemerintah Daerah dengan sistem padat karya, dan baru mencapai tahap pengerasan tanpa aspal.
Hingga 1986, Suyatno Hadinoto dalam Api Pembebasan Irian Barat mencatat sebanyak delapan proyek pembangunan jalan yang telah dilaksanakan. Proyek itu meliputi pembangunan jalan dari Abepantai Ubrub – Wamena; Abepantai – Waris; Wamena – Senggi; Yeti – Km 175 arah Wamena; Merauke – Bupul – Tanah Merah; Merauke – Bupul; Tanah Merah – Muting; Nabire – Ilaga – Wamena. Dari target pembangunan 1.650 km ruas jalan, yang tercapai 325 km.
Menurut Suyatno pembangunan jalan Arteri Irian Jaya mengalami beberapa kendala. Kontraktor di lapangan kerap mendapat hambatan alam berupa curah hujan yang tinggi, rata-rata 187 mm tiap bulan. Musim yang tak menentu dan medan belantara yang sangat berat ikut mempersulit. Secara teknis, pembangunan jalan terhambat oleh ketiadaan peta yang lengkap dalam skala besar untuk menentukan trase jalan. Selain itu, dari sumber daya manusia, sukar untuk mencari tenaga setempat yang terampil.
Baca juga: Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
Meski demikian, dengan terbangunnya ruas-ruas jalan ini diperoleh pencapaian yang turut menyukseskan program pemerintah. Beberapa lahan untuk transmigrasi berhasil dibuka, seperti di Koya Barat, Koya Timur, Arso dan daerah sekitar Merauke dan Nabire. Pembangunan jalan juga memperlancar roda pemerintahan kota kecamatan dan menunjang kegiatan perekonomian masyarakat. Selain itu, tanah-tanah yang belum dibudidayakan dialihkan menjadi lahan produktif seperti perkebunan.
“Misalnya PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang diharapkan dari hasil perkebunan ini dapat diexport untuk menambah devisa negara.” tulis Suyatno.
Waktu Soeharto lengser pada 1998, proyek pembangunan jalan di Papua masih belum rampung seluruhnya. Soeharto mewariskan proyek ini kepada tiap presiden yang memimpin sebagai agenda pembangunan. Sampai era Presiden Joko Widodo upaya menghubungan antar pelosok di Papua dengan infrastruktur masih tetap berjalan.
Baca juga: Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua
Post A Comment:
0 comments: