Articles by "Dr Socrates Sofyan Yoman"
Showing posts with label Dr Socrates Sofyan Yoman. Show all posts
"Selama puluhan tahun terakhir ini orang Papua sudah belajar banyak dari Indonesia tetapi sebaliknya Indonesia dan banyak pendatang sepertinya enggan untuk mau belajar sesuatu dari Papua. Tidak ada banyak pendatang yang sungguh berusaha untuk mengenal tanah Papua, manusia, bahasa, dan budayanya....." (Pastor Frans Lieshout). 

Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

".....orang-orang yang dianggap primitif memberikan pelajaran tentang sopan santun kepada orang asing itu. Siapakah yang sebenarnya primitif" (Pastor Frans Lieshout). 

Indonesia bangsa Melayu tidak punya tanah di TANAH Papua Barat. Mereka bangsa perampok yang datang menduduki, menjajah dan merampok TANAH kami. Mereka bawa undang-undang dan hukum mereka buatan sendiri. Ideologi mereka. Gaya hidup mereka.

Mereka paksa kami untuk terima undang-undang dan ideologi mereka. Mereka paksa kami terima sejarah mereka. Mereka paksa kami untuk terima lagu mereka. Mereka paksa kami untuk terima bendera mereka. Mereka paksa kami terima ideologi mereka,yaitu, Pancasila.

Indonesia melayu mengangkat diri sendiri sebagai pemimpin dan paksa kami hormati dan tunduk kepada mereka sebagai pemimpin kami.  

Dengan tepat, Cypri Jehan Paju Dale dalam kata pengantar buku Pdt. Dr. Benny Giay yang berjudul: "Zakheus Pakage Dan Komunitasnya", dengan tepat ditulis:

"Para ogai menganggap orang Papua primitif, terkebelakang, dan hidup dalam kegelapan. Mereka juga mengangkat diri mereka sendiri sebagai penyelamat yang dibutuhkan untuk membuat orang Papua menjadi beradab. Pandangan semacam itu telah menjadi asumsi dari misi pemberadaban para misionaris Barat, penjajahan orang Eropa, ekspansi imperialisme Amerika dan pembangunanisme Indonesia dewasa ini" (Giay, 2022:3).

"Indonesia adalah bangsa kolonial seperti firaun dan Goliat yang berwatak rasis, fasis, kejam, barbar, biadab dan berkarakter perampok, pencuri, penipu, pembohong, pembunuh dan penjarah yang datang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat sejak 19 Desember 1961 dan membangun pemerintahan Iblis di Tanah Papua Barat. Bagi mereka yang mempunyai kesadaran, hati nurani dan mengerti dan pasti membenarkan dan setuju dengan pernyataan ini" (28 Juni 2024).

Kedaulatan, kemerdekaan, otonomi dan kemandirian rakyat dan bangsa Papua Barat tercermin dan terbukti lewat kutipan sebagai berikut: 

DR. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Jayapura, dalam kata pengantar buku:
"Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim-Papua: Kebudayaan Balim Tanah Subur Bagi Benih Injil" (2009) diakui sebagai berikut: 

"....Kesan orang ekspedisi itu ialah bahwa penduduk asli itu sudah punya peradaban yang tinggi. Orang-orang penduduk Lembah itu berpandangan luas, semangat kerjanya tinggi, berbakat besar untuk pertanian" (2009:xii). 

Pastor Frans Lieshout, OFM, kebangsaan Belanda ini mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua sebagai berikut:

"Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, ....Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni...dan semangat kebersamaan dan persatuan...saling bersalaman dalam acara suka dan duka..." ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86). 

Lebih lanjut Pastor menggambarkan kehidupan Pendauduk Orang Asli Papua dengan tepat, sebagai berikut: 

"Waktu Mr. Lorentz diberikan kehormatan untuk membagikan daging babi itu kepada para anggota rombongannya, ia sendiri mencicipi sedikit terlebihi dahulu dari daging itu; rasanya enak sekali! Tetapi tuan rumah menegur dia, ia harus membagi dulu kepada yang lain dan sesudah itu baru ia boleh makan bagian dia sendiri. (Situasi ini lucu sekali, karena orang-orang yang dianggap primitif memberikan pelajaran tentang sopan santun kepada orang asing itu. Siapakah yang sebenarnya primitif" (2009:4). 

"Anggota ekspedisi sangat menggangumi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi di bidang pertanian. Kebun-kebun dan parit-parit di dalamnya kelihatannya seperti di daerah pertanian di Eropa. Selain itu masyarakat Balim juga sangat cerdas, buktinya jembatan gantung di atas sunggai Balim yang baik dan kuat" (2009:14). 

"Kami melihat sebuah jembatan gantung buatan tangan manusia. Rombongan orang Dayak meragukan kekuatan jembatan itu dan tidak berani memakainya seperti nereka biasanya kurang menghargai orang Papua. Kami menyebrangi kali itu lewat jembatan yang ternyata baik dan kuat. Kami mengagumi karya teknik mereka itu dan kebun-kebun tebu, ubi dan keladi yang sungguh terawat dengan baik. Mereka bukan manusia 'primitif'" Kami tidak membayangkan akan bertemu manusia seperti itu....Masyarakat yang sederhana dan polos ini hidup bersama dalam suasana damai" (2009:8). 

"Hampir seluruh tanah mereka adalah kebun yang dipagari dengan baik. Jalan-jalan setapak dari kampung satu ke kampung yang lain terkesan terawat rapih dan rumah-rumah mereka berkelompok dengan halaman yang bersih dan teratur" (2009:9). 

"....orang-orang yang ramah, bersahabat dan sopan. Kagum, karena orang-orang Dani ( baca:Orang-orang Asli Papua) itu, meskipun masih hidup di zaman batu namun mempunyai peradaban dan kebudayaan tinggi, mempunyai ketrampilan untuk bertani dan menggarap tanah secara intensif, memiliki teknik tinggi untuk membangun sistem irigasi, jembatan gantung dan pagar-pagar dengan tekun dan teliti, membangun dan memelihara rumah-rumah mereka dengan rapi dan bersih sersta sssuai dengan iklim dan alam hidup mereka." (2009:17).. 

"Maka dapat dibayangkan situasinya, di mana orang-orang Balim sejak zaman nenek moyangnya mengatur hidupnya sendiri" (2009:42). 

"Orang Balim hidup bersama dalam semangat otonom dan bebas. Kekuatan orang Balim terletak dalam kebersamaan. Orang Balim sejati sebenarnya tidak mengemis dan bangga atas dirinya hidup secara mandiri sejak leluhur." (2009:363). 

"Saya sendiri pun belajar dari manusia Balim (Papua) yang begitu manusiawi. ...Mereka (OAP) pasti tidak menyadari bahwa kami telah banyak belajar dari mereka daripada sebaliknya." (Pastor Frans Lieshout,OFM-2009:xviii; hal.9). 

Ada hal yang kontras dari perilaku orang-orang Indonesia yang berwatak rasis datang ke Tanah bangsa Papua digambarkan dengan baik oleh Pastor Frans Lieshout, sebagai berikut: 

" Selama puluhan tahun terakhir ini orang Papua sudah belajar banyak dari Indonesia tetapi sebaliknya Indonesia dan banyak pendatang sepertinya enggan untuk mau belajar sesuatu dari Papua. Tidak ada banyak pendatang yang sungguh berusaha untuk mengenal tanah Papua, manusia, bahasa, dan budayanya dan biasanya seseorang tidak dapat mencintai apa yang ia tidak kenal. Dalam program-program pembangunan sering kurang diperhatikan dan dihargai kearifan-kearifan lokal seakan-akan Papua harus menjadi kopi dari daerah-daerah lain di Indonesia tanpa suatu warna lokal Papua. Kiranya tidak cukuplah untuk berulang-ulang kali memproklamasikan Tanah Papua sebagai Tanah Damai" (2009:385-386). 

Pengakuan Pastor Frans Lieshout mempertegas atau mendukung kebenaran kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua. Saya ambil salah satu contoh dari suka saya sendiri, orang Lani. 

Selengkapnya saya mau sampaikan tentang "NILAI-NILAI LUHUR & ILAHl DALAM PERADABAN HIDUP SUKU LANI" sebagai berikut: 

Suku Lani yang menggunakan bahasa Lani adalah suku terbesar di Papua, yang hidup, tinggal/mendiami dan bermukim berabad-abad di Pegunungan West Papua di bagian Barat dari Lembah Balim. Wilayah yang didiami pemilik dan pengguna bahasa Lani meliputi: Piramit, Makki, Tiom, Kelila, Bokondini, Karubaga, Mamit, Kanggime, Ilu, Mulia, Nduga, Kuyawagi, Sinak dan Ilaga. 

Kata “Lani” akan memiliki arti yang jelas, lebih dalam dan luas, jika ditambah dengan kata "Ap" berarti menjadi Ap Lani yang mengandung makna, yaitu: "Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh." 

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010: 92) penulis menjelaskan sebagai berikut: 

Kata Ap Lani artinya: ” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.” 

Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui: 

"Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, ...Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni...dan semangat kebersamaan dan persatuan...saling bersalaman dalam acara suka dan duka..." ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86). 

Sumber ini dikutip pandangan seorang misionaris yang hidup lama dengan orang gunung, khusus orang Balim. Tetapi apa yang disampaikam Pastor Frans sudah merupakan representasi nilai luhur dan ilahi dalam peradaban hidup orang-orang Lani juga. 

1. Orang Lani dan Perang 

Dalam perang orang Lani ada norma-norma yang harus ditaati oleh kedua kelompok yang bertikai atau berperang. 

Dilarang membunuh anak-anak. Dilarang membunuh perempuan. Dilarang membunuh orang tua dan juga orang lumpuh. Dilarang membunuh pemimpin. Dilarang mengambil mengambil barang-barang di medan perang sebagai barang jarahan. Dilarang memperkosa perempuan di medan perang. 

Membunuh musuh harus dengan alasan yang jelas. Jangan membunuh orang tanpa dasar dan alasan yang jelas kuat. Dalam.membunuh musuh jangan hancurkan muka, kepala, jangan potong leher, potong kaki dan tangan manusia yang dibunuh. Jangan keluarkan isi perut orang yang dibunuh. Jangan membunuh orang dari bagian belakang. Manusia dibunuh dibagian dada/lambung. 

Setelah manusia dibunuh mayatnya dilarang keras buang dijurang. Dilarang disembunyikan ditempat tersembunyi. Orang yang dibunuh dilarang dibuat telanjang. Dilarang meletakkan mayatnya terlentang. Mayat orang yang dibunuh diatur posisi tidur menyamping kanan atau kiri, tetapi dilarang biarkan terlentang muka ke arah langit atau muka ke arah tanah. 

Setelah dibunuh pihak pembunuh berkwajiban sampaikan informasi kepada keluarga korban. Supaya keluarga korban datang mengambil jenazah dan berkabung dan mengabukannya (membakarnya). 

Akibat dari melanggar norma-norma perang tadi, para atau pihak pelaku mengalami musibah kutuk dan murka turun-temurun. Keturunan mereka tidak pernah selamat karena darah orang yang dibunuh itu menentut balasan. 

Biasanya, musibah dan malapetaka itu berhenti ketika para pelaku kejahatan mengaku bersalah, minta maaf dan minta pengampunan dari keluarga korban. 

Dilarang membunuh dan wajib lindungi pemimpin kedua pihak yang sedang berperang dan bermusuhan karena pemimpin adalah simbol pelindung dan perdamaian. Kalau pemimpin dibunuh berarti kehancuran dan malapetaka bagi rakyat kedua belah pihak yang sedang berperang. 

Keyakinan, nilai luhur dan ilahi orang Lani bahwa pemimpin adalah NDUMMA sebagai pemegang kebenaran, keadilan, kasih, kejujuran, pengharapan, pembawa angin sejuk, kenyamanan, ketenangan dan harmoni hidup. Karena itu, pemimpin sebagai Ndumma harus dilindungi, dijaga dan dihormati. Kalau orang menggamggu Ndumma berarti mengganggu seluruh penduduk orang Lani. 

Kedua belah pihak juga berdamai dengan cara yang unik dan bersahabat, walaupun bermusuhan. Karena pada dasarnya orang-orang Papua pada umumnya dan orang Lani lebih khusus, orang-orang paling jujur, tulus, tidak berpura-pura dan munafik. Mereka orang-orang mencintai KEDAMAIAN dan PERSAUDARAAN. Mereka berdamai dengan makan bersama dengan menyembelih beberapa ekor babi. Mereka saling bertukaran ternak babi yang mereka miliki. Adapun daun pisang yang diatasnya diletakkan daun ubi adalah simbol perdamaian antar orang Lani yang sedang berperang. Orang-orang Lani adalah bangsa Melanesia yang sangat unik ada di planet ini. Aku bangga karena aku orang Lani, aku orang gunung, aku orang Papua, aku orang Melanesia. Aku bukan orang Indonesia dan saya bukan bangsa Indonesia. 

2. Orang Lani dan Kreatifitasnya 

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik. Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh untuk melindungi rumah dan juga kebun. 

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran. 

Dr. George Junus Aditjondro mengakui: 

“…para petani di Lembah Baliem misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam” (Cahaya Bintang Kejora, 2000, hal. 50). 

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain. 

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak pernah dipimpin dan diperintah oleh orang asing Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya sebagai bangsa merdeka dan bedaulat sejak leluhur. 

Saya dengan jujur sampaikan bahwa tulisan ini tidak sempurna. Tapi, lebih baik tulis yang tidak sempurna daripada tidak berbuat apa-apa untuk melindungi bangsaku yang dianggap tidak bermartabat dan tidak berbudaya oleh para kolonial Indonesia yang RASIS yang menduduki, menjajah dan menindas bangsaku atas nama NKRI. 

Sudah saatnya nilai-nilai luhur dan ilahi yang dimatikan itu dihidupkan kembali. Dengan tepat Pastor Frans Leishout mengatakan: " Pagar sudah rusak. Honai sudah hancur. Noken sudah rabik. Perahu sudah bocor." 

Artinya, semua nilai-nilai luhur budaya warisan leluhur yang merupakan bendungan hidup orang Asli Melanesia di Papua sudah dihancurkan secara sistematis oleh penguasa kolonial Indonesia sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.

Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati. 

Ita Wakhu Purom, 29 Juni 2024

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
4. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC). 
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

++++++++++

Nomor kontak penulis: 08124888458//
081288887882