𝘽𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠 𝙪𝙥𝙖𝙮𝙖 𝙖𝙥𝙖𝙧𝙖𝙩 𝙗𝙞𝙠𝙞𝙣, 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙗𝙪𝙗𝙖𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙙𝙖𝙢𝙖𝙞 𝙙𝙞 𝘽𝙞𝙖𝙠, 2 𝙅𝙪𝙡𝙞 1998. 𝙎𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙩𝙪𝙣𝙮𝙖, 𝙥𝙖𝙧𝙖 𝙩𝙤𝙠𝙤𝙝 𝙖𝙜𝙖𝙢𝙖 𝙠𝙚𝙩𝙚𝙢𝙪 𝙁𝙞𝙡𝙚𝙥 𝙢𝙞𝙣𝙩𝙖 𝙨𝙪𝙥𝙖𝙮𝙖 𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙝𝙚𝙣𝙩𝙞. 𝘽𝙚𝙧𝙞𝙠𝙪𝙩 𝙞𝙣𝙞 𝙘𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖𝙣𝙮𝙖
....
Cuaca cerah menghiasi langit biru siang itu, 2 Juli 1998. Desiran angin samudera Pasifik meniup Bintang Kejora yang telah berdiri mantap sejak subuh, berkibar dengan elok. Perhatian seluruh masyarakat tertuju pada Tower Air dekat Puskesmas Biak.
Soeharto yang baru turun dari kursi presiden pada bulan Mei, ikut membawa Rakyat Papua di Biak turun ke jalan, menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Gelombang reformasi sedang menggeser rezim Orde Baru di Indonesia. Serangkaian aksi massa pro-kemerdekaan juga muncul di Jayapura, Sorong, Wamena, dan Manokwari antara Juli dan Oktober 1998.
Tower Air dalam tiga hari menjadi magnet yang menarik tiap orang untuk mendekat. Militer Indonesia bingung mencari cara menghentikan aksi massa. Provokasi, ancaman, dan teror dihamburkan di tengah masyarakat untuk menimbulkan rasa takut agar tidak mendekati tower.
Namun upaya militer itu tidak banyak berpengaruh. Filep Karma yang mendengar berbagai desas-desus yang menyebar di luar, menyerukan agar massa melingkari Tower untuk melindungi Sampari dan tetap melakukan aksi dengan damai. Teror dan provokasi tidak mampu menggoyangkan massa.
Provokasi semakin sering dilakukan untuk mengancam massa aksi. Tanggal 5 Juli, ketika situasi mulai memanas, sekitar 10 orang tokoh agama diutus pemerintah menemui Filep untuk bernegosiasi agar demonstrasi dihentikan.
"Anak, berhenti sudah. Kami jamin anak nanti aman." Kata seorang dari mereka yang usianya lebih tua dari Filep.
"Bapa, kamu percaya pejabat-pejabat Indonesia kah? Lihat Soekarno! orang yang paling berjasa bagi rakyat dan negara Indonesia; keluar masuk penjara Belanda untuk kemerdekaan Indonesia saja, di masa tuanya, dikurung, hak-haknya dicabut, diperlakukan semena-mena sampai dia meninggal" ucap Filep.
"Kalau Soekarno saja diperlakukan begitu, saya ini apa? Punya jasa apa untuk Indonesia? Sehingga kamu-kamu ini mau jamin keselamatan saya?"
Panas Matahari jatuh di kepala para tokoh agama itu, keringat mengucur membasahi wajah mereka yang memikul tekanan. Dahi di kepala mereka mengerut bingung mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Saya tidak percaya! Daripada saya menyerah, mundur, jadi pengkhianat, lebih baik saya gugur sebagai pahlawan" Tegas Filep Karma, yang selalu rapi dengan pakaian dinasnya itu.
"Kamu tau ka, Ferry Awom¹ di mana sekarang?" tanya Filep sambil mengingat apa yang pernah dialami Ferry Awom.
“Ferry Awom, kami tahu dia punya rumah ada di sini.” para tokoh agama menjawab spontan.
"Maaf bapak, saya tidak tanya dia punya rumah. Saya tanya orangnya. Kalau dia masih hidup di mana? Kalau sudah meninggal, jasadnya di mana?"
Para tokoh agama itu kembali membisu seperti batu karang di pinggir pantai. Mereka tidak tahu.
“Jasad Ferry Awom saja bapak-bapak tidak tahu. Padahal dia juga dulu dijanjikan keamanan jika meletakkan senjatanya. Terus bagaimana Bapak masih percaya pada janji omong kosong para pejabat Republik Indonesia? Saya tidak percaya kepada mereka, kalau nanti saya aman." lanjut Karma tegas.
"Daripada saya mati konyol seperti Ferry Awom, yang sudah menyerah dengan sopan, namun sampai sekarang kita tidak tahu dimana jejaknya, lebih baik saya tetap bertahan."
"Kalau saya dibunuh di sini, ditembak mati, saya gugur sebagai pahlawan. Jelas rakyat juga menyaksikan bahwa saya ditembak mati dalam keadaan berjuang. Daripada saya menyerah baik-baik, tahu-tahu malam hari diculik tanpa berita dan tidak ada yang tahu ke mana saya.”
Para hamba itu diam membeku, tidak mampu berkata apa-apa dihadapan Filep, lalu pamit pergi. Hawa sore hari mulai berubah. Filep kembali ke hadapan massa dan mengumumkan, agar massa aksi yang merasa takut dengan ancaman silahkan kembali ke rumah dan berdoa bagi mereka yang akan bertahan dan siap mati.
6 Juli 1998 subuh, bintang timur menyaksikan kota Biak berubah menjadi ladang pembantaian. Hal itu berawal dari seorang sersan polisi masuk ke kalangan massa. Dia dianggap hendak provokasi, lalu dipukul dan beberapa gigi patah. Ini menciptakan bentrok. Militer menjadi buas, memangsa siapapun tanpa memilah massa. Banyak mayat dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut.
Dalam kasus itu, delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang luka ringan, 150 orang ditangkap dan disiksa, 32 mayat ditemukan mengapung di perairan Biak. Tragedi itu menyebabkan trauma yang berkepanjangan tanpa pertanggungjawaban yang baik oleh negara.
_______
(1) 𝘍𝘦𝘳𝘳𝘺 𝘈𝘸𝘰𝘮 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘦𝘹-𝘗𝘝𝘒 (𝘗𝘢𝘱𝘰𝘦𝘢 𝘝𝘳𝘪𝘫𝘸𝘪𝘭𝘭𝘪𝘨𝘦𝘳𝘴 𝘒𝘰𝘳𝘱𝘴/𝘗𝘢𝘴𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘙𝘦𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢) 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘰𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘖𝘗𝘔 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 28 𝘑𝘶𝘭𝘪 1965 𝘥𝘪 𝘔𝘢𝘯𝘰𝘬𝘸𝘢𝘳𝘪. 𝘐𝘢 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘬𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘵𝘪𝘱𝘶 𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘗𝘢𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘴 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 1971. 𝘐𝘢 𝘥𝘪𝘦𝘬𝘴𝘦𝘬𝘶𝘴𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘉𝘳𝘪𝘨𝘫𝘦𝘯 𝘈𝘤𝘶𝘣 𝘡𝘢𝘦𝘯𝘢𝘭. 𝘔𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘬𝘴𝘪, 𝘫𝘢𝘴𝘢𝘥𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘣𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘭𝘢𝘶𝘵.